Masa Bani Umaiyyah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik
Ibrahim
e-mail: Jurnalispba17@gmail.com
Abstract
This article talks about the Umayyad dynasty. After the Khulafaur Rasyidin
ending, comes a new leadership led by Muawiyah ibn abu sofyan with the name of
the Umayyad dynasty. Issues to be discussed in this article is a turn of the
head of state system, the development of religious sciences, social and
cultural systems, causes deterioration Umayyad dynasty. System replacement head
of state in nature monarci Umayyad dynasty or kingdom, in stark contrast to the
leadership of Khulafaur Rasyidin. At this time many advances in the field of science and religion
so many discovered new sciences. There is little difference between the
original and mawali Arab nation, the Arab nation and the nation mawali dominate
a nation that's number two.
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai Dinasti Umayyah. Setelah masa Khulafaur
Rasyidin berakhir muncullah kepemimpinan baru yang dipimpin oleh Muawiyah Bin
Abu Sufyan dengan nama Dinasti Umayyah. Permasalahan yang akan dibahas dalam
artikel ini adalah Sistem penggantian kepala Negara, Perkembangan ilmu-ilmu
keagamaan (Ulum al-Syar’iyah), Sistem sosial budaya (arab-mawali), Sebab-sebab kemumduran Bani
Umayyah. Sistem penggantian Kepala Negara dalam Dinasti Umayyah lebih bersifat
monarci atau kerajaan, berbeda sekali dengan masa kepemimpinan khulafaur
rasyidin.Pada masa ini banyak kemajuan-kemajuan dalam bidang keilmuwan dan
keagamaan sehingga banyak ditemukan ilmu-ilmu baru.Terdapat sedikit perbedaan
antara orang Arab asli dan Mawali, bangsa Arab lebih mendominasi dan bangsa
Mawali menjadi bangsa yang nomor dua.
Keywords: Dinasti Umayyah, Monarki, Arab-Mawali
A. Pendahuluan
Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan umat, bangsa, negara
maupun pribadi yang harus dilewati, sebagai bagian dari proses kehidupan. Islam
yang sampai pada kita saat ini sesungguhnya telah melewati berbagai proses
sejarah dalam waktu yang tidak singkat. Dimulai dari masa nabi Muhammad saw,
Islam terus mengalami pasang surut, bukan hanya bidang agama namun tak jarang
bersinggungan dengan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Selepas kepergian
Nabi, khulafa ar-Rasyidin adalah
pemegang tongkat estafet dalam memimpin umat Islam yang
selanjutnya jatuh pada kekuasaan dinasti
Umaiyah.
Berakhirnya kekuasaan
Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasaan baru yang berpola dinasti
atau kerajaan. Bentuk dinasti yang cenderung bersifat kekuasaan turun-temurun
hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan, mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaur rasyidin.
Setelah masa khulafaur
rasyidin benar-benar berakhir (dengan terbunuhnya kholifah terakhir, Ali
binf Abi Thalib), maka dinasti-dinasti baru pun muncul. Sejak tahun 661 M,
kekuasaan politik mulai di pegang oleh dinasti-dinasti tertentu, seperti
Dinasti Umayyah di Damaskus, diikuti Dinasti Abbasiyah di Baghdad, dan
sisa-sisa kekhalifahan Umayyah Baru di Kordoba. Pada masa berikutnya,
dinasti-dinasti yang ada antara lain
yaitu Fatimiyyah di Kairo (909-1171 M), Al-Murabitun, dan Al-Muwahhidun di
barat Laut Afrika serta dinasti-dinasti regional yang memerintah
kawasan-kawasan geografis yang lebih kecil. Kebanyakan dari penguasa-penguasa
tersebut berasal dari bangsa Arab atau keturunan Arab.
Hampir semua sejarawan
membagi Dinasti Umayyah menjadi dua, yaitu yang pertama, Dinasti Umayyah
yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di
Damaskus (syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah system
pemerintahan dari system khilafah pada system mamlakat (kerajaan atau monarki)
dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya
merupakan wilayah taklukan Umayyah dibawah pimpinan seorang gubernur pada zaman
Walid bin Abd Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari
kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di
Damaskus.[1][1]
Dinasti Umayyah yang berpusat Di
Damaskus mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada Perang
Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Khalifah
Utsman bin Affan itu, semula akan dimenangkan oleh piahak Ali, tetapi melihat
dari gelagat kekalahan itu, Mu’awiyyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali
untuk kembali kepada hukum Allah.[2][2]
Dalam peristiwa tahkim itu,
Ali telah telah terpedaya oleh taktik dan siasat Mu’awiyah yang pada akhirnya
ia meninggal mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Mu’awiyah
mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.[3][3] Peristiwa ini di masa kemudian menjadi awal munculnya pemahaman yang
beragam dalam masalah teologi.
Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan,
namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah dengan beberapa perjanjian. Perjanjian
tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan ‘am jama’ah
karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan.
Betapapun hebatnya pertikaian yang terjadi di kalangan
kaum muslimin, Muawiyah dan dinastinya yang terdiri dari orang-orang Bani
Umayyah ternyata sanggup mengatasinya dengan berbagai macam cara, termasuk
kekerasan dan perang. Kemudian mendirikan imperium yang amat luas kekuasaannya.[4][4]
B. Sistem Penggantian
Kepala Negara
Dinasti Umayyah
merupakan kerajaan islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukan
dengan cara menolak pembaiatan terhadap Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih
berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali bin Abi Thalib, dengan
strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali bin Abi Thalib
dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan oleh keberhasilan pihak Khawarij
(kelompok yang menentang dari Ali bin Abi Thalib) membunuh Ali bin Abi Thalib.
Meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya, Hasan, namun tanpa
dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau, akhirnya kepemimpinannya pun
hanya bertahan sampai beberapa bulan.[5][5]
Nama “Umayyah”[6][6] di nisbatkan kepada
Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin
kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Ia dan pamannya, Hasyim bin Abdi Manaf,
selalu bertarung dalam perebutan kekuasaan kedudukan.[7][7]
Bani Umayyah baru masuk
Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu
ketika Nabi Muhammad Saw.beserta beribu-ribu pasukannya (yang benar-benar
percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan) menyerbu masuk ke dalam kota
Makkah.[8][8]
Kekuasaan Dinasti
Umayyah pada masa keemasannya menandingi Alexander Agung.[9][9]Dinasti ini berdiri di
Damaskus, Suriah, setelah masa khulafaur rasyidin berakhir. Pendirinya
bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun,
dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara
mereka ada pemimpin yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak
zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patuh dan lemah.Adapun urutan
khilafah Bani Umayyah adalah sebagai berikut.
1. Mu’awiyah bin Abi
Sufyan 41-60 H/661-679 M
2. Yazid I bin Mu’awiyah 60-64
H/679-682 M
3. Mu’awiyah II bin Yazid 64 H/682 M
4. Marwan I bin Hakam 64-65 H/683-684 M
5. Abdul Malik bin Marwan 65-86 H/684-705 M
6. Al-walid bin Abdul
Malik 86-96
H/705-714 M
7. Sulaiman bin Abdul
Malik 96-99 H/714-717 M
8. Umar bin Abdul Aziz 99-101 H/719-723 M
9. Yazid II bin abdul
Malik 101-105
H/719-724 M
10. Hisyam bin Abdul Malik 105-125
H/723-742 M
11. Al-Walid II bin Yazid
II 125-126
H/742-743 M
12. Yazid bin Walid bin
Malik 126 H/743 M
13. Ibrahim bin Al-Walid II 126-127
H/743-744 M
14. Marwan II bin Muhammad 127-132 H/744-750 M]
Antara tahun 64 hingga tahun 73 H/ 683 hingga 692 M ada masa dimana
pemerintahan Bani Umayyah tidak sepenuhnya menguasai semua wilayah Islam. pada
saat itu ada pemerintahan Abdullah bin Zubair.
Para sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Bani
Umayyah ialah Mu’awiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.[10][10]
1. Mua’wiyah Bin abi
Sufyan
Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah sebagai upaya untuk menghindari
pertumpahan darah kaum muslimin dan untuk menyatupadukan mereka.Akan tetapi
Hasan memberikan beberapa syarat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan diantara
syaratnya adalah pertama, Muawiyah harus berjanji tidak mencaci-maki ayahnya
(Ali Bin Abi Thalib) di atas mimbar khutbah. Yang kedua adalah bahwa Muawiyah
harus berjanji jabatan khilafah itu tidak diwariskannya sebagai turunan kepada
anak-cucunya., tetapi diserahkan kepada keputusan musyawarah kaum Muslimin.[11][11]Dengan demikian,
Mu’awiyah menjadi khalifah yang legal sejak tahun 41 H atau 661M. yang dikenal
dengan “Amul Jamaah”. Mu’awiyah di bai’at oleh umat Islam di Kufah, sedangkan
Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal pemerintahan Bani
Umayyah, Muawiyah mencoba merubah system pemerintahan yang bersifat demokratis,
seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, menjadi Monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun ditunjukkan
ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia (bai’at)
terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah.[12][12]
Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan
Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah juga bermaksud meniru cara sukses
kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan). Akan
tetapi, gelar pemimpin pusat tidak disebut raja (malik).Mu’awiyah tetap
menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.Jika zaman
khalaifah (penganti) yang dimaksudkan adalah Khalifah Rasul Saw. (khalifah
al-rasul) adalah pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman Bani Umayyah, yang
dimaksud adalah khalifah Allah (khalifat Allah) adalah pimpinan yang diangkat
oleh Allah. Langkah awal dalam rangka memperlancar pengangkatan Yazid sebagai
penggantinya adalah menjadikan Yazid bin Mu’awiyah sebagai putra mahkota (tahun
53 H).[13][13]
Khalifah Umayyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan
baik. “Ketika Mu’awiyah menjadi penguasa terjadi banyak kesulitan pemerintahan
imperium yang didesentralisasikan itu tampak kacau. Muncul berbagai anarkisme
dan ketidakstabilan kaum nomad menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan
hilangnya kesatuan.Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang
lebih dahulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman,
oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahan ibukota dari
Madinah.Oligarki di Mekah di kalahkan dan dicemarkan.Mu’awiyah mencoba untuk
mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium.Oleh karena itulah, dia
mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian, unsur
agama didalam pemerintahan dan pemerintahan tidak hilang sama sekali. Mu’awiyah
tetap mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai
pejuang Islam.[14][14]
Diantara jasa-jasa Mu’awiyah ialah mengadakan dinas pos kilat dengan
menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan
Kantor Cap (percetakan mata uang dan lain-lain.[15][15]
2. Yazid bin Mu’awiyah
Mu’awiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan di ganti oleh
anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya.
Diantara orang yang paling tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah
adalah Husen bin Ali, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair.
Seluruh negeri membaiat dirinya pada masa pemerintahan ayahnya kecuali
sejumlah kecil orang di Madinah.Yazid berusaha untuk memaksa mereka. Maka Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas membaiatnya. Sedangkan Husen dan Abdullah bin Zubair
pergi ke Mekah dan tidak membaiatnya. Keduannya menginginkan kekhalifahan
berada di tangannya.
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam
memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan
pemberontakan kaum Syiah yang telah membaiat Husain sepeninggal Mu’awiyah.
Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Nabi
Muhammad Saw.Yazid menghadapi para pemberontak Mekah dan Madinah dengan
keras.Dinding ka’bah runtuh dikarenakan lemparan munjaniq, alat pelempar
batu pada lawan.Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.[16][16]
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya dan kemudian
mengangkat Abdullah bin Hanzalah dari kaum Anshor. Mereka memenjarakan kaum
Umayyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu,
sehingga terjadilah bentrok fisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang
dipimpin oleh Muslim bin Uqbah Al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan
antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang dimenangkan olehpasukan
Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah bin Muti’
sebagai pemimpin mereka tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid.[17][17]
Lain halnya dengan penduduk Mekah, sebagian dari mereka membaiat Abdullah
bin Zubair sebagai khalifah. Maka pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah
meneruskan perjalanannya ke Mekah untu menguasainya. Abdullah bin Zubair selamat
dari gempuran pasukan yazid karena ada berita bahwa Yazid telah wafat sehingga
ditariklah pasukannnya ke Suriah. Akan tetapi, kota Mekah menjadi porak poranda
akibat perlakuan pasukanYazid tersebut. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah
memerintah selama 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Mu’awiyah II.[18][18]
3. Mu’awiyah II bin Yazid
Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari dan meletakkan jabatannya sebagai
khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena
tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan yang sangat besar tersebut. Dengan
wafatnya, maka habislah riwayat keturunan Mu’awiyah dalam melanggengkan
kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4. Marwan bin Hakam
Mu’awiyah II diganti oleh Marwan bin Hakam, seorang yang memegang stampel
khalifah pada masa Utsman bin Affan. Ia adalah gubernur Madinah di masa
Mu’awiyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri
daulah Umayyah itu. Ketika Mu’awiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa
penggantinya, maka keluarga besar Umayyah mengangkatnya sebagai khalifah.Ia
dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya,
sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan khalifah itu tidak didapatkannya.
Padahal keadaan itu rawan dengan terjadinya perpecahan di tubuh bangsa Arab
sendiri dan ditambah dengaan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang
bertubi-tubi.Khalifahyang baru itu menghadapi segala kesulitah satu demi
satu.Ia dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahhak bin Qais, kemudian menduduki Mesir
dan menetapkan putrannya Abdul Aziz sebagai gubernurnya. Abdul Aziz adalah ayah
Umar, seorang khalifah Bani Umayyah yang masyhur itu.Marwan menundukkan
Palestina, Hijaz dan Irak. Namun ia cepat pergi dan hanya memerintah selama 1
tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul
Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.[19][19]
5. Abdul Malik dan Abdul
Aziz
Abdul Malik menjadi khalifah setelah ayahnya Marwan bin Hakam meninggal
pada tahun 65 H/ 684 M. Pada saat itu khalifah yang legal adalah Abdurrahman
bin Zubair. Kemudian dia berhasil mengambil Irak dari tangan Abdurrahman bin
Zubairdan menaklukkan Hijaz secara keseluruhan. Setelah Abdurrahman bin Zubair
terbunuh, maka ia dibaiat oleh seluruh masyarakat muslim. Dia menjadi khalifah
sejak tahun 73 H/692 M. Keadaan negara aman berada di tangannya.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua terbesar yang dalam deretan para
khalifah Bani Umayyahyang disebut-sebut sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan
Umayyah.Iadikenal sebagai khalifah dalam ilmu agamanya, terutama dibidang fiqh.
Ia telah berhasih mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa
keluarga Umayyah dari segala pengacau negara pada masa-masa seblumnya. Mulai
dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah
dan khawarij, sampai kepada aksi terror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin
Ubaid as-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab
bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat
kegundahan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintah menggunakan bahasa
Arab sebgaai bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih
memakai bahasa yang bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa
Persia di Persia dan bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun
beberapa gedung dan masjid serta saluran-saluran air.[20][20]
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh
para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya,
seperti al-Hajjaj bin Yusuf yang gagah berani di medan perang dan Abdul Aziz
saudaranya yang dipercaya memegang kekuasaan sebagai gubernur Mesir. Al-Hajjaj
bin Yusuf menjadi gubernur wilayah Hijaz setelah menundukkan Abdullah bin
Zubair yang memberontak di wilayah tersebut. Gubernur itu dipindahkan ke Irak
setelah dapat menaklukkan para pembangkang disana.Ia juga menundukkan raja
Turki, Ratbil yang berusaha menyerang Sijitstan yang sudah menjadi wilayah
Islam dan membunuh gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman
bin Al-Asy’as. Padahal telah disepakati
perjanjian damai antara kedua belah pihak, sehingga penguasa Turki itu harus
membayar jizyah kepada Umayyah. Akan tetpa, pasukan Islam berakhir dengan
tragis karena perselisihan intern yang terdapat dalam elite penguasa muslim
sendiri, yakni antara al-Hijjaj dengan al-Asy’as. Tidak terelakkan lagi,
terjadilahkontak senjata antara keduannya yang akhirnya dimenangkan oleh
al-Hijjaj karena dibanu oleh Khalifah Abdul Malik. Disamping Berjaya dimedan
perang, al-Hijjaj juga berhasil memperbaiki slauran-saluran air sungai Eufrat
dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki system ukuran timbang,
takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan tulisan mushaf Al-Qur’an dengan
titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan
diganti oleh putranya yang bernama Al-Walid.[21][21]
6. Al-Walid bin Abdul
Malik
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96
H). pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan
Islam melangkah keSpanyol dibawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika
Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah
maka ia sempurnakan pembangunan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan
yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur
tersebut. Ia membangun Masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di
Damaskus. Disamping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni
para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta,
dan sakit kusta. Khafilah al-Walid bin Abdul Malik wafat tahun 96 H dan
digantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.[22][22]
7. Sulaiman bin Abdul
Malik
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya, ia kurang
bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperhatikan ketika ia menginginkan
harta rampasan perang (ghanimah) dari spanyolyang dibawa oleh Musa bin Nushair.
Ia menginginkan harta itu jatuh ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya,
al-Walid yang saat itu masih hidup meskipun dalam keadaann sakit.Musa bin
Nushair diperintahkan oleh Sulaiman agar memperlambat kedatangannya ke Damaskus
dengan harapan harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun, Musa tidak
melaksanakan perintah Sulaiman tersebut, yang mengaibatkan ia disiksa dan
dipecat dari jabatannya ketika Sulaiman naik menjadi khalifah menggantikan
al-Walid.[23][23]
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya
yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula
masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya,
seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qosim yang menundukkan
India. Ia menunjuk Umar bi Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal
pada tahun 99 H.[24][24]
8. Umar bin Abdul Aziz
Adapun masa ketiga yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa
pemerintahannya sangat singkat, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani
Umayyah dan sebuah periode yang berdri sendiri, mempunyai karakter yang tidak
tidak terpengaruhi oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak
disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan bersih,
suatu sikap yang jarang sekali di temukan pada sebagian pemimpin Bani Umayyah.[25][25]
Khalifah yang adil adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir.Ia lahirdi
Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber yang lain. Rupanya keadilan itu
menurun dari khalifah Umar bin Khattab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya.
Ia menghabiskan waktu di Madinah untuk mendalami ilmu agama Islam, khususnya
ilmu hadits dan ketika menjadi khalifah ia memerintahkan kaum muslimin untuk
menuliskan hadits, dan inilah perintah pertama dari penguasa Islam umar adalah
orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang
dan cara jalan tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak orang pada
masanya.[26][26]
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, kalifah Umayyah yang
sekaligus sebagai pamanya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh Khalifah
Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari
jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai
pejabat, kaya akan ilmu dan hart, serta sebagai bangsawan Arab yang mulia, ia
diangkat menjadi khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar
bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana,
bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya
memerintah kurang lebih dua tahun.[27][27]
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syiria,
Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilka kekayaan 40.000 dinar tiap tahun.
Namun setelah menduduki jabatan barunya, khalifah Umar bin Abdul Aziz
mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggakan
kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk
diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu, ia mengadakan
perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah seta Khawarij, menggantikan peperangan
dan mencegah caci maki terhadap Khalifah ali bin Abi Thalib dalam khutbah
Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut.[28][28]
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa
kekhalifahnya, seperti menaikkan gaji para gubernur, memeratakan kemakmuran
dengan meberi santunan kepada fakir miskin dan memperbarui dinas pos. Ia juga
menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga kelas dua dengan
orang-orang Arab. Ia mengurang beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah
bagi orang-orang Islam baru. [29][29]
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana khalifah
diatas, khalifah Hisyam bin Abdul Malik perlu dicatat sebagai khalifah yang
sukses. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-125 H). Ia
dapat juga bisa dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena
kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan
tergolong teliti terutama dalam soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat
adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum
Syi’ah yang bersekutu dengan kaum Abbasiyah mereka menjadi kuat karena
kebijaksanaan yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak
yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok.Dalam diri keluarga Umayyah
sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi
Umayyah.[30][30]
9. Yazid II bin Abdul
Malik (101-105 H)
Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yazid II bin
Abdul Malik (101-105 H). Pada masa pemerintahannya timbul perselisihan antara
kaum Maduriyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang sangat singkat itu
mempercepat proses kemunduran Umayyah. Kemudian diganti oleh khalifah Hisyam
bin Abdul Malik.[31][31]
10. Hisyam bin Abdul Malik
Hisyam bin Abdul Malik menjadi
khalifah sesuai dengan pesan dan wasiat saudaranya Yazid II bin Abdul Malik .
Hisyam dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan sabar.Dia sangat membenci
pertumpahan darah, namun dia dikenal sangat kikir dan pelit.[32][32]
Ia meninggal pada tahun 124 H/ 741 M yang kemudian digantikan oleh anaknya
Ibrahim bin Al-Walid. Pada masa ini muncul gerakan Abu Muslim Khurasani, salah
seorang penyeru pendiri pemerintahan bani Abbasiyah.
11. Walid bin Yazid II
Dia menjadi khalifah berdasarkan wasiat pamannya, Hisyam bin Abdul Malik.
Dikenal sebagai sosok yang menuruti hawa nafsunya dan tindakan-tindakan yang
tidak pantas.Sehingga, banyak manusia yang jengkel terhadapnya dan secara
diam-diam mereka membaiat sepupunya yang bernama Yazid bin Walid yang dikenal
sebagai sosok yang sholeh.Maka, Yazid menerukan agar Walid dicopot saat dia
tidak berada di tempat. Kemudian dia mengirimkan sejumlah pasukan pada Walid
bin Yazid dan membunuhnya pada tahun 126 H/ 743 M. Walid berkuasa selama setahun
3 bulan.
12. Yazid bin Walid bin
Abdul Malik
Dia dilantik sebagai khalifah setelah sepupunya yang bermental rusak Walid
bin Yazid terbunu pada tahun 126 H. masa pemerintahannya sangat pendek dan
penuh dengan gejolak. Dia sama sekali tidak menikmati masa kekuasaannya walau
sehari. [33][33]
Gejolak dan pemberontakan muncul dimana-mana.Setelah itu muncul konflik
antara orang-orang Qaisiyah dan Yamaniyah terutama di Khurasan.Dia meninggal
akibat penyakit Tha’un pada tahun 126 H setelah memerintah selama enam bulan.
13. Ibrahim bin Walid bin
Abdul Malik
Dia menjadi khalifah
setelah kakaknya Yazid. Saat itulah Marwan bin Muhammad melakukan pemberontakan
yang menyatakan akan balas dendam atas kematian Walid bin Yazid dan menyerukan
untuk membaiat kedua anak Walid bin Yazid yang kemudian dibunuh oleh Ibrahim di
dalam penjara. Marwan sampai ke Damaskus dan Ibrahim melarikan
diri.Pemerintahannya hanya berumur 70 hari saja. Setelah itu Marwan bin
Muhammad naik tahta.
14. Marwan bin Muhammad
Marwan bin Muhammad bin
Marwan bin Hakam diberi gelar “Himar” karena sangat aktif dan pemberani dalam
berperang. Dia melakukan penyerangan ke negeri Romawi pada tahun 105 H/723 M
dan mampu menaklukkan kota Konya saat menjabat sebagai penguasa Armenia dan
Azarbaijan. [34][34]
Masa pemerintahannya
ditandai dengan banyaknya konflik dan instabilitas hingga akhirnya
pemerintahannya jatuh dan runtuh dan beliau meninggal di tangan Bani
Abbasiyah.Maka berakhirlah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
C. Perkembangan Ilmu-Ilmu
Keagamaan (Ulûm al-Syar`iyah)
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan
“disekolahkan” ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab
murni, dan mendalami puisi. Kesanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang
kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat
membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan
pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al-Kamil,
yang sempurna. Kemampuan berenang sangatlah dihargai terutama bagi mereka yang
hidup di daerah pantai Mediterania.[35][35]
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa
itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari Al-Qur’an dan hadits. Karena
itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah membaca Al-Qur’an (qurra’).
Pada awal 17 H/638 M
Dalam bidang pengetahuan, pada masa Dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan
terbagi menjadi beberapa bagian, yakni
1. al-adab al-hadith (ilmu-ilmu baru), yang
meliputi al-ulum al-islamiyah (ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh)
2. al-ulum al-lisaniyah, at-tarikh, dan
al-jughrafi);
3. al-ulum ad-dakhiliyah (ilmu yang diperlukan
untuk kemajuan islam), yang meliputi ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, dan
ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi; serta
4. al-adab al-qadamah (ilmu lama), yaitu
ilmu yang telah ada pascazaman jahiliyah dan ilmu pada masa khalifah yang
empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah, dan amthal.[36][36]
Pada masa itu Abu Aswad Ad-Duali (wafat 681 M) menyusun gramatika Arab
dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik.Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa
Arab, serta mempermudah orang membaca dan mempelajari dan menjaga barisan yang
menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, sehingga dapat
diketahui maknanya.Kerajaan ini pun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu
pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen
Mesir).[37][37]
Adapun beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan ialah
sebagai berikut:[38][38]
a. Pengembangan Bahasa
Arab
Para
penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan islam sebagai daulah (negara),
kemudian dikuatkan dan dikembangkanlah
bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan
menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan,
sehingga pembukuan dan surat menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang
sebelumnya menggunakan bahasa Romawi
atau bahasa Persia daerah-daerah bekas jajahan mereka dan Persia.
b. Marbad; Kota Pusat
Kegiatan Ilmu
Dinasti
Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan
marbad, kota satelit dari Damaskus. Di kota Marbad inilah, berkumpul para
pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya, sehingga kota ini
biberi gelar ukadz-nya Islam.
c. Ilmu Qira’at
Ilmu qira’at
adalah ilmu seni baca al-Qur’an.Ilmu qira’at merupakan ilmu syariat
agam tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaur rasyidin.Kemudian,
pada masa dinasti Umayyah, dikembangkan, sehingga menjadi cabang ilmu syariat
yang sangat penting. Pada masa ini, lahir para ahli qira’at ternama, seperti
Abdullah bin Qusair dan Ashim bin Abi Nujud.
d. Ilmu Tafsir
Untuk
memahami al-Qur’an sebagai kitab suci, diperlukan interprestasi pemahaman
secara komprehensif.Minat menafsirkan al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin
meningkat.Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir
adalah Mujahid (wafat pada tahun 104 H).
e. Ilmu Hadits
Ketika
kaum muslimin telah berusaha memahami al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang
harus mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi Muhammad Saw.yang dinamakan
hadits.Oleh karena itu, muncullah usaha manusia untuk mengumpulkan hadits sekaligus
menyelidiki asal usulnya, sehingga menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang
dinamakan ilmu hadits.
Penguasa muslim pertama yang membolehkan penghimpunan hadist adalah
khalifah Umar bin Abdul Azis.8
sejak itu hadist mulai dihimpun dan dicatat untuk memelihara keshahihan hadist,
munculah metode sanad, yang berarti penyandaran suatu ucapan pada orang yang
menyatakanya. Dengan metode sanan munculah beberapa istilah diantaranya;
·
Shahih yaitu hadist yang memeilki kesempurnaan atau tanpa cacat
·
Hasan yaitu hadist yang isnadnya tidak sepenuhnya shahih
·
Dhaif yaitu hadist yang pada matan atau isnad terdapat cacat
· Gharib yaitu hadist
yang didalaya terdapat hal yang asing atau aneh
Diantara
ilmu hadits yang termasyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah al-Jauzi
Abdurrahman bin Amru (wafat tahun 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi
Abu Amru bin Ayurahbil (wafat tahun 104 H).
f. Ilmu Fiqh
Setelah menjadi daulah maka para penguasa sangat membutuhkan adanya
peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai
masalah.Mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits, sekaligus mengeluarkan
syariat dan kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin
rakyat.
Al-Qur’an adalah dasar fiqh Islam, dan pada zaman ini,
ilmu fiqh telah menjadi satu cabang ilmu syariat yang berdiri sendiri. Diantara
para ahli fiqh terkenal adalah Sa’ad bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman,
Qasim ubaidillah, Urwah, dan Kharijah
g. Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah, Karena wilayahnya berkembang
sangat luas, khususnya ke wilayah diluar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan.Hal
tersebut dikarenakan pula bertambahnya orang-orang Ajam (non-Arab) yang masuk
Islam, sehingga keberadaan bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
dibutuhkanlah ilmu nahwu, dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk
memperlajari berbagai ilmu agama islam.
Tokoh tokoh ilmu nahwu
adalah Sibawaih, kemudian Al-Farisy selanjutnya Al-Zujaj.[39][39]
h. Ilmu Jughrafi dan
Tarikh
Jughrafi pada masa Dinasti Umayyah telah
berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu
sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya
pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan
gairah untuk mengarah ilmu jughrafi (ilmu bumi atau geografi), demikian
pula ilmu tarikh. Kedua ilmu ini lahir pada masa Dinasti Umayyah, yang
berkembang suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
i. Usaha Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah islamiyah, pada masa
Dinasti Umayyah, dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari
bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab.Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan
penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang pesat pada
zaman dinasti ebrikutnya yaitu Dinasti abbasiyah.
Adapun mula-mula yang
melakukan usaha penerjemah adalah Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang
sangat cerdas dan ambisius. Ketika gagal memperoleh kursi kekhalifahan ia focus
di bidang ilmu pengertahuan, diantaranya mengusahakan penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa lain ke bahasa Arab.
Para ahlu ilmu pengetahuan yang melakukan penerjemahan
dari berbagai bahasa didatangkan dari Damaskus.Maka, diterjemahkan buku-buku
tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, kedokteran, dan
lain-lain. Sedangkan Khalid bin Yazid adalah seorang yang ahli dalam bidang
astronomi.
D. Sistem Sosial Budaya
(arab - mawali)
Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia
dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “Sayyid”
atau tuan atas bangsa bukan Arab, dengan negeri taklukannya menjadi jurang
pemisah dalam hal pemberian hak-hak negara.
Masyarakat di seluruh kerajaan terbagi ke dalam empat kelas sosial.
1. Kelas tertinggi kelas
tertinggi biasanya di isi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga
kerajaan dan kaum aristocrat Arab. Berapa banyak jumlah mereka, tidak bisa
diketahui dengan pasti.[40][40]
2. Kelas sosial
berikutnya, yang berada di bawah kelas muslim Arab adalah para muallaf yang
masuk Islam melalui pemaksaan sehingga secara teoritis negara mengakui hak
penuh mereka sebagai warga muslim.[41][41]
3. Kelas sosial ketiga
adalah anggota-anggota sekte, dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang
disebut dengan ahl al-Dzimmahyaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang
telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Dalam status semacam itu, orang dzimmi
mendapatkan tingkat toleransi yang tinggi, tentu saja setelah mereka membayar
pajak tanah dan pajak kepala.[42][42]
Mawali berasal dari Maula, budak tawanan perang yang sudah
dimerdekakan.Mereka itu mula-mula berasal dari bangsa Persia atau keturunannya,
baik kedua orang tuanya berasal dari Persia atau salah satunya dari bangsa
Arab.Dalam perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukkan pula bagi bangsa
selain Arab. Istilah itu muncul karena Bani Umayyah berusaha untuk meninggikan
derajat bangsa Arab sebagai penguasa diantara bangsa lain yang dikuasai. Karena
kefanatikannya kepada bangsa Arab khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan
bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara sehingga semua perintah dan peraturan
serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab
dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu Qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa
Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi di banyak negara sampai saat ini: Irak,
Syiria, Mesir, Libanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, disamping Saudi
Arabia,Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya.[44][44]
Dalam bidang sosial budaya, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak
antarbangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukanyang memiliki tradisi
yang luhur, seperti Persia, Mesir, Eropa, dan lain sebagainya. Hubungan
tersebut melahirkan kreativitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu
pengetahuan.
Di bidang seni, terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat
suatu pencapaian yang gemilang. Seperti Dome of the Rock (Qubah ash-Shakira) di
Jerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi
orang.[45][45]
Kehidupan Keluarga Istana. Ketika malam tiba, para
khalifah menikmati hiburan dan jamuan sosial.Muawiyah sangat suka mendengar
kisah sejarah, anekdot terutama dari Arab Selatan dan pembacaan puisi. Untuk
memuaskan kegemarannya, ia mendatangkan seorang ahli cerita dari Yaman, Abid
ibn Syaryah, yang menghibur khalifah sepanjang malam dengan kisah-kisah
kepahlawanan masa lalu. Minuman yang paling disukai adalah sirup buah, yang
sering menjadi tema lagu-lagu Arab dan
hingga kini masih bisa dinikmati di Damaskus, dan kota-kota lainnya. Minuman
itu biasanya sangat diminati oleh kaum wanita.[46][46]
Diantara aktivitas masa silam yang menarik minat para khalifah dan para
pengiringnya adalah berburu, balapan kuda, dan dadu.Polo, yang merupakan
olahraga favorit keluarga Abbasiyah, mungkin diperkenalkan oleh orang Persia
menjelang akhir pemerintahan Umayyah.Berburu merupakan olahraga yang pertama
kali dikembangkan di Arab, dengan menggunakan anjing saluki (saluqi, dari
Saluq di Yaman).[47][47]
Kehidupan Umum Ibukota. Bisa dikatakan bahwa
irama kehidupan dan karakteristik Damaskus tidak banyak berubah sejak menjadi
ibukota Dinasti Umayyah. Dulu, seperti juga sekarang, di jalan-jalan sempit dan
padat, banyak ditemui orang Damaskus, yang mengenakan celana lebar, sepatu
dengan ujung berwarna merah, dan sorban besar, terlihat menepu-nepuk pundak
orang badui yang berbusana longgar, menggunakan kafiyah (tutup kepala)
dan iqal (ikat kepala), atau ada juga orang Ifranji yang
berpakaian Eropa.
Seperti halnya di perkotaan, orang Arab dusun tinggal di wilayah mereka
yang terpisah sesuai dengan afiliasi kesukuan mereka.Di damaskus, Hims, Aleppo,
dan kota-kota lainnya, harah (pemukiman) ini masih bisa dikendali dengan
baik.Dinasti Umayyah yang bisa kita saksikan sekarang di Damaskus adalah teknik
pengairan yang tak tertandingi padsa masanya di dunia Timur, dan hingga jinni
masih berfungsi dengan baik. Nama Yazid diabadikan sebagai nama sebuah kanal,
Nahr Yazid, yang digali atau mungkin diperkuas dari Barada, untuk
menyempurnakan irigasi di Gutah. Oasis subur di luar Damaskus, serta
taman-tamannya yang indah merupakan hasil dari pengairan Barada. Di samping
Nahr Yazid, Barada juga terbagi menjadi empat cabang saluran yang menyebarkan
kesuburan dan kesegaran ke seluruh kota. [48][48]
E.
Sebab-sebab Kemunduran Bani Umaiyyah
Keruntuhan daulah Bani
Umayah berawal dari diangktnya Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah atas
wasiat dari saudaranya, Yazid bin Abdul Malik bin Marwan. Sedangkan Walid bin Abdul
Malik dijadikan putra mahkota setelah pemerintahan Hisyam. Dia menerima
kepemimpinan dari Hisyam pada bulan Rabiul Akhir tahun 125 H.[49][49]
Walid bin Abdul Malik
adalah seorang yang fasik peminum khamr dan banyak merusak aturan Allah. Satu
saat dia ingin menunaikan ibadah haji dengan tujuan minum khamr di atas ka’bah,
sehingga banyak orang yang membencinya dan memberontak pada masa
pemerintahannya.[50][50]
Diantara sebab
terpenting keruntuhan dinasti umayah dampak pembunuhan Husein, cucu Rasululah
SAW yang dilakukan Yazid bin Mua’wiyah. Hal ini yang menanamkan kebencian dalam
hati kaum syiah dan bertekad untuk melancarkan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[51][51]
Selain daripada itu
para penguasa Bani Umayah tidak menghargai jasa pahlawan.Para pahlawan besar
yang mengabdikan diri kepada Bani Umayah dan semestinya memperoleh penghargaan
dan penghormatan, tetapi malah dijebloskan ke dalam penjara dan
dibunuh.Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayah semakin luas sehingga
sulit untuk mengendalikan dan mengawasinya, terlebih lagi dengan semakin
berkurangnya penguasa yang berwibawa untuk mengawasi suatu wilayah.[52][52]
Sepeninggal Umar bin
Abdul Azis kekhalifahan Bani Umayah berada di tangan Yazid bin Abdul Malik.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang
memperhatikan kepentingan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga pemerintahan
Hisyam bin Abduk Malik. Pada zaman ini muncul kekuatan baru yang berasal dari
Bani Hasyim didukung golongan mawali.Kekuatan ini menjadi tantangan berat bagi
kaum Pemerintah Bani Umayah. Hisyam bin Abdul Malik sebenarnya khalifah yang
kuat dan terampil, tetapi dia muncul ketika pemerintahan diambang kehancuran.
Sepeninggal Hisyam khalifah yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral
buruk, Hal ini memperkuat golongan oposisi.Akhirnya pada tahun 750 M, daulah
Bani Umayah digulingkan Bani Abbasiyah yang bersekutu dengan Abu Muslim Al
Khurasani.[53][53]
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan dinasti Umayah lemah dan membawanya kepada kehancuran,
diantaranya:
1. Ketidakjelasan sistem
pergantian Khalifah sehingga menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.
2. Sisa-sisa Syi’ah dan
Khawarij terus menjadi oposisi. Penumpasan pada golongan ini banyak menyedot
kekuatan pemerintah.
3. Ada pertentangan etnis
antara suku Arabia utara dan selatan yang semakin meruncing sejak zaman sebelum
islam. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa bani Umayah sulit
menggalang persatuan.
4. Sikap hidup mewah di
lingkungan istana , sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul tanggung
jawab tatkala mereka mewarisi tahta.[54][54]
5. Setelah menakhlukkan
spanyol penguasa muslim tidak menjalankan kebijakan islamisasinya dengan
sempurna. Penduduk Spanyol dibiarkan memeluk agamanya dan mempertahankan
tradisi mereka, akibatnya muncul pertentangan antara islam dengan kristen.[55][55]
6. Terpecahnya kekuasaan
khalifah menjadi dinasti kecil-kecil, dan kekuatanpun terpecah-pecah dan lemah.
7. Kemerosotan di bidang
perekonomian, karena para penguasa mementingkan pembangunan fisik dengan
mendirikan bangunan-bangunan megah dan monomental.[56][56]
8. Munculnya kelompok
khawarij dan syi’ah yang memandang bani Umayah sebagai perampas kekhalifahan.[57][57]
Suatu kebudayaan tentu
akan mengalami pasang surut sebagaimana berputarnya sebuah roda, kadang berada
diatas kadang berada di bawah. Demikian juga dengan kekuasaan sebuah imperium,
satu saat dia muncul, berkembang pesat, lalu jatuh dan hilang.[58][58]
Di saat-saat terakhir
kekhalifahan bani Umayah dipegang oleh Marwan bin Muhammad, benar-benar dalam
keadaan sudah gawat. Marwan berhadapan dengan dengan berbagai persoalan, dia
sibuk menutup hutang para pendahulunya, sementara itu pasukan Romawi timur
bergerak hingga mampu menguasai pesisir barat asia kecil dengan semenanjung
Greek, pantai Levantine, pulau Cyprus, pulau Rodes, dan Aradus. Sementara itu
Marwan juga harus menghadapi pemberontakan[59][59] Sebenarnya dia adalah
penguasa yang besar, tapi dia muncul ketika keadaan Bani Umayah benar-benar
dalam keadaan merosot.[60][60]
Di saat terjadi banyak
kekacauan itu gerakan Abbasiyah yang selama ini menyusun kekuatan secara
rahasia dan mendapat dukungan dukungan dari Bani Hasyim golongan syi’ah dan
kaum Mawali, menumpahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur habis-habisan
Bani Umayah.Gerakan Abbasiyah ini berhasil menguasai seluruh khurasan, dan
selanjutnya menuju Irak untuk menghancurkan pasukan Marwan.Khalifah Marwan
mlarikan diri ke Mesir dan ditankap di sebuah biara di pelabuhan Abusir, di
Muara Sungai Nil.
F.
Penutup
Berdasarkan uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa Dinasti Umayyah lahir dari gejolak politik yang
haus akan kekuasaan. Dinasti Umayyah masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah,
dan hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kehormatan dan
kelanggengan kekuasaan. Akhirnya ambisi Dinasti Umayyah tercapai juga oleh
keturunan yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan hingga mencapai masa
keemasaaannya. Dan dalam system pergantian pemimpin Dinasti ini menggunakan
system turun temurun, sehingga hanya keluarga kerajaanlah yang dapat memimpin
kerajaan. Dan tentu jelas system pemerintahan yang digunakan oleh Dinasti
Umayyah ini berbeda dengan system pemerintahan yang digunakan pada pemerintahan
Khulafaur Rasyidin yakni, system pemerintahan yang demokratis dan mementingkan
kehidupan rakyatnya. Walaupun di permukaan tampak kacau akan tetapi pada masa
kejayaannya dinasti ini mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan serta karya-karya
muslim popular.
[2][2] Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2004) hal. 34
[4][4] Ahmad Amin, “Yaumul Islam”, Abu
Laila dan M.Tohir (Penerj.), Islam dari Masa ke Masa, PT. Remajarosda
Karya, Bandung, 1993, hal. 9
[5][5] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik,
Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015), hlm. 246.
[6][6]Pengertian kata “Bani” menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau
keturunan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Bani Umayyah adalah anak, anak
cucu atau keturunan dari Bani Umayyah bin Abdi Syams dari satu keluarga.
Sedangkan kata “Dinasti” bermakna raja-raja yang memerintah, dan semuanya
berasal dari satu keturunan.Jadi, Dinasti Umayyah adalah keturunan raja-raja
yang memerintah, yang berasal dari Bani Umayyah. Adapun istilah lain yang
sering digunakan adalah “daulah” yang berarti kekuasaan, pemerintahan, atau
negara. Dengan ungkapan lain, Daulah Bani Umayyah adalah negara yang diperintah
oleh Dinasti Umayyah yang raja-rajanya berasal dari Bani Umayyah.
[7][7] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik,
Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 246-247.
[9][9]Alexander Agung adalah maharaja tersohor dari masa helenisme
awal.Penaklukan Athena oelh Philip II dari Makedonia mengakhiri dominasi Athena
atas seluruh Yunani.Alexander Agung, Putra Philip II (lahir tahun 356 SM),
segera dididik dalam pola Yunani oelh Aristoteles. Ketika Philip II meninggal
dunia pada tahun 336, Alexander muda langsung dinobatkan sebagai raja pada
tahun yang sama,.Dalam masa Alexander Agung inilah, hampir wilayah sekitar Laut
Tengah ditaklukkan dan disatukan sebagai satu imperium. Pada masa pemeintahannya
(336-323 SM), proses helenisasi dapat berlangsung secara luas. Namun, Alexander
Agung tidak membasmi budaya dan kepercayaan budaya setempat.Ia menghargai
dewa-dewa setempat, sebagaimana ia menyembah dewa-dewi Yunani. Ini memberi ciri
sinkretis pada agama masa helenisme. Karena keberanian, kepahlawanan, dan
keterbukaannya terhadap agama/budaya setempat, ia mendapatkan penghargaan
istimewa di seluruh wilayah hellenistik. Ia diakui sebagai raja ilahi,
bukan hanya ketika masih hidup, tetapi juga setelah ia meninggal dunia ]. Ia
menerima gelar “yang agung”; kuil dibuat di berbagai wilayah untuk
menyembahnya; patung dibuat untuk melambangkannya sebagai pahlawan ilahi [Ayub
Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan
Sukarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 139-140]
[32][32] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2010), hlm.
207
[35][35] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 316.
[36][36] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik,
Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 257.88888
[38][38] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik,
Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 258-261.
[39][39] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 44.
[40][40] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 289
[44][44] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 42-43.
[45][45] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik,
Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 255.
[46][46] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 283-284
0 comments:
Post a Comment