PEMBARUAN ISLAM DI TIMUR TENGAH
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
email : jurnalispba17@gmail.com
Abstract
This article discusses the
renewal of Islam in the Middle East. That is a movement that aims to restore
the glory of Islam at that time. Impurities again the religion of Islam which
some applied the wrong group to Qada 'and Qadar and the emergence of
heresy-heresy and false hadiths. Start the splitting of Muslims at that time
because the concerned schools or certain groups. In the 18th century, Islamic
countries began to be subject to the Europeans and always obeyed without the
slightest effort to free themselves from the invaders. Of all the causes for this decline finally
figures reformers who does have the correct commitment to Islam also appear.
With the aim of overcoming the backwardness of Muslims in almost all aspects of
life and encouraged by the progress of the west and its impact.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang pembaruan islam di
timur tengah. Yakni sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan kejayaan
islam pada masa itu. Ketidakmurnian lagi agama islam yang oleh sebagian golongan
salah mengaplikasian terhadap Qada’ dan Qadar serta timbulnya bid’ah-bid’ah dan
hadits-hadits palsu. Mulai terpecahnya umat islam pada saat itu karena
mementingkan madzhab atau golongan tertentu. Pada abad 18, Negara-negara islam
mulai tunduk pada bangsa Eropa dan selalu menurutinya tanpa usaha sedikitpun
untuk membebaskan diri dari penjajah. Dari semua sebab kemunduran tersebut
akhirnya para tokoh pembaru yang memang memiliki komitmen yang benar terhadap
islam pun tampil. Dengan tujuan mengatasi keterbelakangan umat islam dalam
hampir seluruh aspek kehidupan dan terdorong oleh kemajuan barat dan dampaknya.
Keywords : Pembaruan, Islam, Timur Tengah
A.
Pendahuluan
Sejarah peradaban islam yang merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi
pelajaran dan perbandingan berbagai macam dimensi kehidupan. Kemajuan,
kemunduran, serta penyebab dari semua perkembangan tersebut. Sebagaimana
semboyan “Jas Merah” yang dikoarkan oleh Bung Karno untuk tidak melupakan
sejarah. Layaknya filsafat roda yang berputar, begitu pula sejarah yang terjadi
pada kejayaan Islam. Awal yang menciptakan sebuah kejayaan pun mengalami suatu
penurunan ataupun kemunduran yang jauh dari perkiraan.
Gejolak pembaruan
pertama bermula di abad 18-19 di Timur Tengah, yang disebabkan oleh keadaan
islam yang jauh di dalam kejumudan fatalis yang menyalahartikan qadha dan
qadar. Umat Islam tahun itu juga berada jauh di
belakang kejayaan Eropa yang menduduki (menjajah) negara-negara Islam saat itu. Para tokoh pembaru pun muncul dengan pemikiran-pemikiran yang luar
biasa. Serta lambat laun menggiring kemunduran Islam untuk kembali bangkit
menuju kejayaan yang hilang.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
memasuki dunia islam, terutama sesudah pembukaan abad kesembilan belas, yang
dalam sejarah islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan
dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia islam seperti
rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan
persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin islam pun mulai memikirkan cara
mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya
respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya
faktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dalam islam. Disamping
dalam batang tubuh doktrin-doktrin islam pembaruan merupakan sesuatu yang
intern, kondisi objektif umat islam sendiri yang secara umum ditandai oleh
semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan di bidang intelektual, dan
berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak
bias diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan
tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektuan tetapi juga pada
tataran empiris.
B.
Pengertian Pembaruan
Pembaruan, dalam kamus besar bahasa Indonesia
bermakna proses, cara, perbuatan membarui atau proses mengembangkan.
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata
modern, modernisasi, dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam
“Aliran-aliran modern dalam islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme
dalam masyarakat barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya,
untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.
Pikiran dan aliran ini segera memasuki lapangan
agama dan modernisme dalam hidup keagamaan di barat mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katholik dan Protestan
dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada
timbulnya sekularisme di masyarakat barat.
Sebagai halnya di barat,
di dunia islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham
keagamaan islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin islam modern mengharap akan dapat
melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada
kemajuan.
Hasil penyelidikan kaum Orientalis barat ini
segera melimpah ke dunia islam. Kaum terpelajar islam mulailah pula memusatkan
perhatian pada perkembangan modern dalam islam dan kata modernisme pun mulai
pula diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa yang dipakai dalam islam seperti al-tajdid
dalam bahasa Arab dan pembaruan dalam bahasa Indonesia.
Kata modernisme dianggap mengandung arti-arti
negative disamping arti-arti positif, maka untuk menjauhi arti-arti negative
itu, lebih baik kiranya dipakai terjemahan Indonesianya yaitu pembaharuan.[1][1]
Pembaruan islam adalah upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan islam dengan perkembangan zaman dan yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaruan dalam islam
bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al-Qur’an maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan berkembangnya
zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama’ atau pakar di zaman dahulu itu tetap ada kekurangannya dan selalu
dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, dan sebagainya. Paham-paham
tersebut untuk di masa sekarang mngkin masih banyak yang relevan dan masih
dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
C.
Pemikiran dan Usaha Pembaruan Sebelum Periode Modern
Mulai abad pertengahan
islam berjaya dan merupakan abad gemilang bagi umat islam. Di abad inilah
daerah-daerah islam menyebar di Barat melalui Afrika utara sampai ke Spanyol
(dulu Andalus), di timur melalui Persia sampai ke India.[2][2]
Puncak kemegahan dunia
Islam itupun akhirnya menurun, islam mengalami kemunduran pada abad ke-10
kemudian tenggelam berabad-abad lamanya.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan kemunduran umat islam pada masa itu, antara lain :
Pertama, isu pintu ijtihad
tertutup telah meluas di kalangan umat islam, berpalingnya pikiran menggali
secara lansung pada sumber pertama dan utama (Al-Qur’an dan Hadits) apabila
menemukan masalah baru, pikiran hanya dipusatkan untuk kepentingan madzhab.
Kedua, keutuhan umat
islam mulai pecah dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan kholifh telah
menurun, pemikiran akan adanya masyarakat islam yang berbentuk persatuan dan
kesatuan seiman telah berpindah, tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali nama
dan tatanan, umat islam terpecah belah dan saling bermusuhan.[3][3]
Ketiga, adanya perang
salib di bawah arahan gereja khatolik Roma, dan serbuan tentara Barbar di bawah
kepimpinan Hulaqo Khan dari tatrar. Kota Baghdad dirampas dan dihancurkan pada
tahun 1258 M.
Dari ketiga faktor di
atas, faktor utama yang menjadi penyebab runtuhnya islam, karena umat islam
tidak lagi menggunakan pikirannya sebagai mana para pemikir-pemikir sebelumnya
melakukan ijtihad untuk menggali sumber yang asli kepada al-qur’an dan hadits
nabi.[4][4]
Pada masa ini islam
mengalami masa kemunduran dan selanjutnya mengalami masa kebangkitan. Dunia
islam kalah dan tersingkirkan oleh penjajah Eropa yang membawa semangat gold.
Semangat itu muncul sebagai ujung tombak gereja untuk mengulangi masa kejayan
ketika menaklukkan islam melaui Perang Salib.[5][5]
Pada tahun 1683, Turki
Usmani mengadakan penyerangan ke benteng Wina, tetapi mereka mengalami
kegagalan. Hal ini meyakinkan Bangsa Barat dan Eropa bahwa Turki telah lemah,
untuk itu mereka mengadakan banyak serangan ke wilayah Turki
Sejak saat Sultan Turki
gagal merebut kekuasaan Mina pada tahun 1683, peranan Usmaniah di medan
perangpun berubah. Sejak pada saat itu tentara Turki kebanyakan hanya sekedar
menangkis pukulan-pukulan musuh dan tidak berdaya untuk melancarkan
serangan-serangan.
Pada masa senjutnya,
wilayah Turki yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya,
direbut oleh Negara-negara Eropa yang sedang bangkit.[6][6]
Periode ini dimulai saat
terjadinya perjanjian Carltouiz, 26 Januari 1699M antara Turki Usmani dengan
Austria, Rusia, Polandia, Venesia, Dan Inggris. Isi perjanjian itu diantaranya
adalah Turki dan Austria terkait perjanjian Selama 25 tahun, yang menyatakan;
seluruh Hongaria (yang merupakan wilayah Turki) kecuali Transvonia dan Kota
Banat, diserahkan sepenuhnya kepada Austria. Sementara wilayah Camanik dan
Podolia diserahkan kepada Polondia. Rusia memperoleh wilayah-wilayah di sekitar
Laur Azov. Sementara itu, Venesia dengan diserahkannya Athena kepada Turki
menjadi penguasa di seluruh Varmartia dan Maria. Dengan demikian, Turki menjadi
negara yang kecil akibat perjanjian Carltouiz. Perjanjian itu terlaksana setahun setelah perjanjian (6
januari 1700 M). Sejak itulah Abad modern dimulai.[7][7]
Perubahan politik ini
membawa dunia islam menjadi lumpuh. Oleh karena itu di sinilah dimulainya babak
baru priode islam pasca runtuhnya kekhalifahan abbasiah.[8][8] Di sini Mesir, ialah yang memulai masa modern ketika
terjadi persinggungan antara barat (Perancis) dan Mesir dengan ekspedisi Napoleon
tahun 1798. Ketika Prancis angkat kaki dari Mesir pemerintahan diganti oleh
Muhammad Aly pasya sebagai Gubernur Turki yang mendapat otonomi atas wilayah
tersebut. Ia mulai memodernisir Mesir, terutama di bidang militer, dan berkuasa
hingga tahun 1848, yang kemudian digantikan anaknya, Ibrahim Pasya.[9][9]
Namun, priodesasi tersebut
merupakan priodesasi yang berdasarkan pada pemikiran Islam. Dalam abad ke-19
dan awal abad ke-20, didorong oleh kebutuhan ekonomi industri terhadap bahan-
bahan baku dan pemasarannya, dan juga oleh kompetisi politik dan ekonomi satu
sama lain, negar-negara Eropa menegakkan kerajaan tutorial-dunia. Belanda
menjajah Indonesia, sementara Rusia di Asia Tengah (1500-1700 M), Inggris
mengonsolidasi Negara mereka di India dan Afrika, dan Mengaontrol sebagian
timur Tengah, Afrika Timur, Nigeria dan sebagian Afrika Barat.
Permulaan abad Ke-20
kekuatan Eropa hampir menguasi seluruh dunia Islam. Dengan didukung oleh
pertumbuhan produksi pabrik daalam skala dan perubahan ang besar, serta dengan
metode komunikasi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta api, telegrap,
Eropa siap untuk melakukan ekspansi perdagangan.
Masa kemunduran ini
berlangsung berabad-abad lamanya, hingga muncul gerakan pemikiran yang dikumandangkan
oleh plopor-plopor pembaharuan, seperti Ibnu Taimyah dan muridnya Ibnu Qayaim,
Muhammad ibn Abdul Wahab, Muhammad ibn Ali Sanusi Al-Kabir dan lain-lainnya.[10][10]
Di sisi lain, agama dan
kebudayaan hukum islam terus dipertahankan, pemikiran-pemikiran baru mulai
bermunculan dan mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab kekuatan eropa dan
mengusulkan negeri-negeri islam untuk mengadopsi ide-ide eropa tanpa kehilangan
identitas dan kepercayaan diri.[11][11]
Dari sinilah muncul
berbagai pemikiran dan upaya-upaya pembaharuan di negeri-negeri islam.
Pembaharuan dalam islam berbeda dengan renaisans barat. Kalau renaisans barat
muncul dengan menyingkirkan agama, maka sebaliknya untuk pembaharuan islam,
yaitu untuk menyatukan umat islam dalam memperkuat prinsip-prinsip dan
ajaran-ajaran islam kepada pemeluknya.[12][12]
D.
Pendudukan Nepoleon dan Pembaruan di Mesir
Setelah selesainya
Revolusi 1789 Perancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan
tantangan dari Inggris. Inggris diwaktu itu telah meningkatk
kepentingan-kepentingannya di india dan untuk memutuskan komunikasi antara
Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu
diletakkan di bawah kekuasaan Perancis. Disamping itu Perancis perlu pada
pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatannya
mempunyai tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan
Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat
strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakanya itu,
adalah Cairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong
Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.[13][13]
Mesir pada waktu itu
berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sesungguhnya sejak ditaklukkan oleh
Sultan Salim di tahun 1517, daerah ini pada hakekatnya merupakan bahagian dari
kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan Sultan-sultan di
abad ketujuh belas, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan
akhirnya menjadi daerah otonom.
Sultan-sultan Usmani
tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Cairo untuk bertindak sebagai wakil
mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak
di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Cairo tidak lebih dari kedudukan seorang
Duta Besar.
Kaum Maluk berasal dari
budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu daerah pegunungan yang terletak di
daerah perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau Cairo
untuk diberi didikan militer, dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka
meningkat dan di antaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi.[14][14]
Setelah jatuhnya
prestise Sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul
bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan secara
kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul. Kepala mereka disebut Syeikh Al-Balad
dan Syeikh inilah yang sebenarya menjadi Raja di Mesir pada waktu itu. Karena
mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak pandai berbahasa
Arab, hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.
Bagaimana lemahnya
pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan
dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2
juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh. Sembilan
hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak di sebelah Timur Alexandria,
jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah Piramid di dekat Cairo. Pertempuran terjadi di tempat
itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon,
lari ke Cairo. Tetapi di sini mereka tidak mendapat simpati dan sokongan dari
rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa lari lagi ke daerah Mesir sebelah
Selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setalah mendarat di
Alexandria, Napoelon telah dapat menguasai Mesir.
Usaha Napoleon untuk
menguasai daerah-daerah lainnya di Timur
tidak berhasil dan sementara itu perkembangan politik di Perancis
menghendaki kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia
meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawahnya ia
tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di
tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Perancis di Mesir mengalami
kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal
31 Agustus 1801.[15][15]
Napoleon datang ke
Mesir bukan hanya membawa tentara dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil
dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai
cabang ilmu-pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percatakan dengan
huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk
kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah. Untuk hal tersebut
akhir ini dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d ‘Egypte, yang
mempunyai empat bahagian: Bahagian ilmu Pasti, Bahagian ilmu Alam, Bahagian
Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga
ini bersama La Courrier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh oleh Marc Auriel,
seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan
ekspedisi ini orang di Mesir tidak kenal pada percetakan dan majalaj atau surat
kabar.
Institut d’Egypte boleh
dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh
ilmuwan-ilmuwan Perancis yang bekerja di Lembaga itu, akan menambah pengetahuan
meraka tentang Mesir, adat istiadat-istiadatnya, bahasa dan agamanya. Di
sinilah orang-orang Mesir dan umat islam buat pertama kali mempunyai kontak
langsung dengan peradapan Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd Al-Rahman
Al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi
lembaga itu di tahun yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa
Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Di
antara ahli-ahli yang dibawa Napoloen memang terdapat kaum Orientalis yang
pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang menterjemahkan perintah dan
maklumat-maklumat Napeleon ke dalam bahasa Arab.[16][16]
Alat-alat ilmiah,
seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya,
eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis
bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan
menakjubkan bagi Al-Jabarti.
Kesimpulan tentang
kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“saya lihat di sana
benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.”[17][17]
Demikianlah kesan
seorang cendikiawan Islam waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini
menggambarkan betapa mundurnya umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi
berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau di Periode Klasik orang Barat
yang kagum melihat kebudayaan dan peradaban Islam, di Periode Modern kaum Islam
yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan Barat.
Di samping kemajuan
materi ini, Napoleon juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Perancis,
seperti:
1.
Sistem pemerintahan republik yang dalamnya kepala negara dipilih untuk
waktu tertentu, tunduk kepada Undang-undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh
parlemen. Sistem ini berlainan sekali dengan sistem pemerintahan absolut
Raja-raja Islam, yang tetap menjadi raja selama ia masih hidup dan kemudian
digantikan oleh anaknya, tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena
konstitusi dan parlemen memang tidak ada dalam sistem kerajaan itu. Ide yang
terkandung dalam kata republik masih sulit untuk ditangkap, dan dengan demikian
mencari terjemahannya ke dalam bahasa Arab sulit pula. Dalam maklumat-malumat
Napoleon, Republik Perancis diterjemahkan menjadi A-Jamhur Al-Faransawi
( الجمهورالفرنساوي) Jumhur sebenarnya
berarti orang banyak. Jadi yang tertangkap dari kata Republik ialah publik,
orang banyak. Di permulaan abad kedua puluh inilah kelihatannya baru muncul
terjemahan yang lebih tepat, yaitu jamhuriah (الجمهوريّة).
2.
Ide persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan dan turut
sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Kalau sebelum ini, rakyat Mesir tak
turut serta dalam pemerintahan negara mereka, Napoleon mendirikan suatu badan
kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia
dagang Cairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini ialah membuat undang-undang,
memelihara ketertiban umum dan menjadi pengantara antara penguasa-penguasa
Perancis dan rakyat Mesir. Di samping itu didirikan pula satu badan lain
bernama Diwan Al-Ummah yang dalam waktu-waktu tertentu mengadakan sidang
untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
Tiap-tiap daerah mengirimkan sembilan wakil ke sidang Diwan itu, tiga dari
golongan ulama tiga dari golongan pedagang, dan satu dari masing-masing
golongan petani, kepala desa dan kepala suku bangsa Arab. Diwan ini mempunyai
seratus delapan puluh anggota dan sidang pertama diadakan dari tanggal 5 sampai
20 Oktober 1798. Putusan yang diambil ialah menganjurkan perobahan peraturan
pajak yang ditetapkan Kerajaan Usmani.
Sistem pemilihan ketua
lembaga juga merupakan hal baru bagi rakyat Mesir. Ketika dari para anggota
Diwan diminta memilih ketua, anggota-anggota menunjuk dan menyebut nama ulama
yang mereka hormati, yaitu Syeikh Al-Syarqawi. Penunjukan serupa ini ditolak
oleh penguasa Perancis sambil menjelaskan cara pengadaan pemilihan. [18][18]
3.
Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis
merupakan suatu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing
dan datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguhpunn orang Islam tetapi
berlainan bangsa dengan orang Mesir. Juga maklumat itu mengandung kata-kata
umat Mesir, (الامة المصريّة). Bagi orang Islam di
waktu itu yang ada hanyalah umat Islam (الامة
الاسلاميّة), dan tiap orang Islam adalah saudaranya dan ia tidak begitu
sadar akan perbedaan bangsa dan suku-bangsa. Yang disadarinya ialah perbedaan
agama. Oleh karena itu untuk menterjemahkan kata nation ke dalam bahasa
Arab juga sulit. Kata Arab yang dipakai ialah al-millah (الملّة) umpamanya dalam Al-millah Al-Faransiah
untuk Ia nation Francaise. Millah berarti agama. Kata Arab yang kemudian
dipakai untuk nation ialah qaum, sya’b dan ummah.
Inilah beberapa dari
ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, ide-ide yang pada waktu itu
belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi ummat Islam di Mesir. Tetapi dalam
perkembangan kontak dengan Barat di abad kesembilan belas ide-ide itu makin
jelas dan kemudian diterima dan dipraktekkan.
Bagaimanapun, ekspedisi
Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran
mereka.[19][19]
A. Pembaharuan Islam di
Mesir
Dalam catatan sejarah,
Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan, yaitu dimulai dari masa Firaun,
Yunani, dan Romawi, Khulafa Ar-Rasyidin, Umayyah, Abbasiyyah, Mamlukiyah, dan
Utsmaniyah. Menurut A.J. Butler, pendudukan negara atau kerajaan tersebut telah
menyebabkan Mesir jatuh dalam situasi yang tidak menguntungkan bahkan seluruh
organisasi pemerintahan di Mesir diarahkan dengan tujuan memeras keuntungan
bangsa terjajah untuk kepentingan penguasanya.
Di satu sisi, banyaknya
negara yang menguasai Mesir membawa nilai-nilai positif, tetapi di pihak lain,
mau tidak mau di situ telah terjadi asimilasi budaya dan politik. Lebih dasyat
lagi, asimilasi itu terjadi dalam aspek perundang-undangannya. Seperti yang
dituturkan oleh Thaha Husain, mereka yang berada dalam roda pemerintahan Mesir
Modern lebih cenderung mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk
pengadilan-pengadilan negeri dan memberlakukan hukum barat daripada hukum
islam. [20][20]
Orang-orang Arab pada
waktu itu tampat paradoks: di satu sisi menentang kemajuan Eropa, sementara di
sisi lain menerima, dan mengadopsi ide-ide serta teknik-teknik Eropa. Kecakapam
baru yang didapatkan dari Eropa digunakan untuk melawan Eropa. Dari sekian
banyak gagasan baru yang diimpor dari Barat, nasionalisme dan demokrasi politik
tak pelak lagi merupakan gagasan yang paling kuat menanamkan pengaruh. Dorongan
nasionalisme membangkitkan semangat penentuan nasib sendiri lalu keduanya
mengiring bangkitnya perjuangan kemerdekaan dari penguasa asing.[21][21]
Kondisi Mesir, tidak
terlepas dari faktor sejarah bahwa Mesir adalah boneka Inggris. Konsekuensinya,
hampir semua aturan Mesir diadopsi dari hukum Inggris.
Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798
dapat dipandang sebagai permulaan ekspansi barat ke Timur Tengah di zaman
modern. Memang, Napoleon sendiri hanya kurang dari dua bulan berada di Kairo
dan tiga tahun kemudian tentara yang ditinggalkan di Mesir terpaksa
mengundurkan diri. Sejak itu, Mesir secara perlahan diperitah, sepenuhnya atau
hanya secara formal, oleh Muhammad Ali (w. 1848) dan keturunannya sampai 1952.[22][22]
Mesir mengalami pembaruan
besar-besaran pada abad ke-19. Pembaruan ini telah memperkenalkan Mesir pada
kemajuan barat dan juga sistem ekonominya. Bidang pendidikan mendapat perhatian
utama dengan dikirimkannya pelajar Mesir ke Eropa dan diterjemahkannya
literatur modern ke dalam bahasa arab. Ekonomi Mesir juga menjadi semakin
terkait dengan sistem ekonomi Eropa karena orientasi ekspor dan pembiayaan
pembangunan. Dibukanya Terusan Suez pada pada tahun 1869 lebih memperjelas lagi
keterkaitan ini. Namun, Mesir harus menanggung beban keuangan berat, sehingga
pada tahun 1875 ia terpaksa menerima nasihat otoritas moneter asing dalam
pengelolahan ekonomi demi memenuhi kewajibannya membayar utang luar negeri yang
membengkak.
Campur tangan asing
dalam ekonomi Mesir dan bidang-bidang lain akhirnya menimbulkan keresahan luas.
Sebagai bukti dengan timbulnya unjuk rasa besar-besaran pada tahun 1879 dan
pemberontakan tahun 1881 yang dilakukan oleh para perwira tentara di bawah
pimpinan Ahmad Urabi. Akibatnya, Mesir justru diduduki Inggris sejak tahun
1882, dan secara resmi Mesir dijadikan protektorat Inggris pada tahun 1914.
Sebenarnya pengaruh Inggris dan Perancis sampai batas tertentu, telah begitu
terasa sejak pertengahan abad ke-19. Kemudian, pada Februari 1922 Mesir telah
dinyatakan merdeka, walau Inggris masih tetap memainkan peranan penting dalam
beberapa bidang, terutama pertahanan sampai dengan keberhasilan “kelompok
perwira” pada Proklamasi tahun 1952 yang mengubah Mesir menjadi sebuah
Republik. Negara yang sangat erat hubungannya dengan Mesir adalah sudan. Saat
Muhammad Ali berkuasa di Mesir, Sudan telah dijadikan bagian dari wilayah
kekuaasaannya.[23][23]
Secara sekilas sejarah
Mesir sampai periode modern dapat diuraikan sebagai berikut:
-
1879: Demontrasi besar di Kairo.
-
1881: Ahmad Urabi merebut Kantor
Kementrian Peperangan.
-
1882: Inggris de facto menguasai
Mesir, walau institusi khidiwi tetap.
-
1899: Mesir disatukan dengan
Sudan.
-
1906: Masyarakat Mesir bersatu
mengutuk tentara Inggris.
-
1907: Mustafa Kamil membentuk Hizrj
Al-Watan.
-
1914: Mesir menjadi protektorat
Inggris tahun
-
1918: Sa’d Zaghlul mendirikan
Partai wafd
-
1920: Nasionalis Mesir
menuntut otonomi.
-
1922: Mesir merdeka.
-
1923: Konstitusi diumumkan.
Pembaharuan yang
dilakukan Muahammad Ali menjadikan Mesir sebagai pengekspor kapas dan
menjadikan negeri ini menggantungkan penghasilannya dari pasaran internasional.
Sebaliknya Mesir jadi pengimpor pakaian Inggris. Hutang Mesir yang sangat besar
untuk mendatangkan barang-barang mewah, perlengkapan persenjataan, mesin industri,
perlengkapan berat bagi pembangunan jaringan kereta api dan penggalian Terusan
Suez menjadikan Mesir berhutang kepada sejumlah perbankan dan pemerintahan
Eropa. Ketergantungan perekonomian seperti ini mengantarkan Mesir pada
kepailitan, dan pada ketidakberdayaan dari bantuan administrasi manajemen asing
di bawah kontrol Anglo-French (1875).[25][25]
A. Penduduk Napoleon
Perubahan Panggung:
Pengaruh Barat
Kedatangan Napoleon ke
Mesir menjadi satu peristiwa penting yang menandai terbitnya zaman baru dalam
berbaigai bidang, yang sepenuhnya berbeda dengan masa lalu. Sambil membawa
perlengkapan yang lain, penyerbu Prancis ini membawa mesin cetak berbahasa Arab
yang ia rampas dari Vatikan ke Kairo. Mesin cetak itu merupakan mesin pertama
yang dikenal yang dikenal di lembah sungai Nil. Berawal dari mesin itu, dunia
percetakan Mesir berkembang lebih jauh hingga muncul Matba’ah Bulaq (Percetakan
Bulak) masih menjadi perusahaan percetakan milik pemerintah. Penakluk Prancis
menggunakannya untuk mencetak lembar-lembar propraganda dalam bahasa Arab.
Napoleon melangkah lebih jauh dengan meresmikan semacam academie literaire
(akademi sastra), yang dilengkapi dengan sebuah perpustakaan. Sampai pada waktu
itu, orang Arab pada umumnya menjalani kehidupan yang mandiri, tradisional, dan
konvensional, serta tidak menghiraukan kemajuan dunia luar. Perubahan tidak
menarik perhatian mereka. Persentuhan yang terjadi tiba-tiba dengan dunia Barat
ini menyetak perhatian mereka, dan membantu mereka untuk bangun dari tidur
panjangnya. Fenomenan ini mengobarkan api intelektual yang membakar semangat
umat islam.
Menyadari berbagai hal
yang mungkin terjadi dari persentuhan budaya ini, Muhammad ‘Ali mulai
mengundang beberapa perwira Prancis, dan perwira-perwira negara Eropa lainnya
untuk melatih angkatan militernya. Ia melangkah lebih jauh dengan mengirimkan
sejumlah mahasiswa untuk dilatih di Eropa. Dalam hal ini, ia mengikuti
cara-cara terdahulu yang telah dikembangkan oleh Turki Utsmani. Dalam kedua
kasus itu, pengiriman pelajar semata-mata untuk kepentingan militer. Tetapi
bahasa, yang menjadi prasyarat dalam pelatihan militer, ketika telah dikuasai,
menjadi kunci utama yang dapat membuka seluruh khazanah pemikiran yang berharga
dalam kasus ini adalah gagasan pemikiran Barat, seperti nasionalisme,
demokrasi, ilmu pengetahuan, sekulerisme, dan ide-ide besar lainnya. Pendiri
Mesir modern itu terus membangun negeri itu dengan mendirikan beberapa sekolah,
tidak terbatas untuk tujuan militer, tetapi juga sekolah kedokteran, farmasi,
teknik, dan pertanian. [26][26]
E.
Potret Pemikiran Pembaruan: M. Abduh, Hasan
al-Bana, dan Ali Syariati
1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir
pada tahun 1849 M dan tidak diketahui pasti dimana ia dilahirkan, diperkirakan
disalah satu desa di Mesir hilir. Karena orang tuanya adalah orang desa yang
tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Bapak Muhammad Abduh
bernama Abduh Hasan Khoirullah yang berasal dari Turki dan telah lama tinggal
di Mesir. Menurut riwayat, ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya
meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Khattab.
Muhammad Abduh belajar
menulis dan membaca kepada orang tuanya, agar kemudian ia dapat membaca dan
menghafal al-Qur’an. Setelah mahir membaca dan menulis iapun diserahkan ke satu
guru untuk dilatih menghafal al-Qur’an. Dan ia berhasil menghafal al-Quran
dalam waktu dua tahun. Setelah itu pada tahun 1862 M ia dikirim ke daerah Tanta
untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad. Satu setengah tahun ia lewati
belajar disana dan merasa tidak menerima apapun karena metode mengajar yang
salah. Karena ia diperintah untuk menghafal diluar kepala tanpa mengetahui
atri-arti istilah didalam fiqh atau nahwu.
Karena tidak puas
dengan metode pembelajaran diluar kepala ini, akhirnya Muhammad Abduh
memutuskan untuk meninggalkan pembelajaran di Tanta dan lari ke rumah pamanya.
Setelah tiga bulan disana ia diperintah untuk kembali belajar di Tanta. Ia
berfikir jika kembali kesana tidak akan mendapatkan apa-apa dan memutuskan
untuk bekerja sebagai petani dirumahnya pada tahun 1865 M dan menikah pada umur
16 tahun.
Tapi nasibnya rupanya
ia akan menjadi orang besar. Ia diperintah oleh orang tuanya untuk kembali
belajar ke daerah Tanta. Tetapi ia tidak kesana dan memutuskan untuk pergi
belajar ke salah satu rumah pamanya yaitu Syekh Darwisy Khadr yang catatanya ia
telah pergi merantau dan belajar agama islam dan tasawwuf (Tarikat Syadli) di
Libia dan Tripoli. Disana ia diajak untuk membaca buku bersama-sama, harapan pamanya
agar ia gemar membaca dan sedikit demi sedikit pamanya menjelaskan apa yang
dibaca oleh Muhammad Abduh. Ia sekarang mulai mengerti apa yang dibacanya dan
ingin mengerti lebih banyak. Akhirnya ia pergi ke Tanta untuk meneruskan
pembelajaran.
Kemudian ia melanjutkan
studinya di Al-Azhar di tahun 1866 M dan mulai berguru kepada Jamaluddin Al
Afghani pada tahun 1877 M. Ia mulai belajar falsafat kepada beliau dan menjadi
murid yang paling setia. Hingga ia menyelesaikan studinya di Al Azhar pada
tahun 1877 M dengan mendapat gelar Alim. Dan meninggal dunia di Mesir tahun
1905.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad Abduh diantaranya:
·
Sebab yang membawa kepada kemunduran adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat islam. Karena faham ini
mempengaruhi umat islam untuk tidak merubah dan tidak mau menerima perubahan
umat islam yang berpegang teguh pada tradisi.[27][27]
·
Pujaan yang berlebihan pada syekh dan wali, kepatuhan membuta pada ulama,
taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan penyerahan bulat dalam segala-galanya
pada qodo dan qodar akan membuat rakyat menjadi statis (tidak berkembang)[28][28]
·
Pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasar atas
kepercayaannya pada kekuatan akal. Bagi Muhammad Abduh akal mempunyai kedudukan
yang tinggi. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.[29][29]
·
Ilmu pengetahuan modern perlu diajarkan disamping ilmu agama, agar
ulama-ulama islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari
penyelesaian yang baik dari persoalan-persoalan yang timbul dalam zaman modern
ini.[30][30]
2. Hasan Al Banna
Hasan Al Banna lahir pada
tahun 1906 M, ia belajar di Universitas Darul Ulum di Kairo dan dikenal sebagai
mahasiswa yang sangat taat kepada agamannya. Ia mendirikan Ikhwanul Musimin
pada tahun 1928 M, yang kemudian menjadi salah satu partai politik terbesar dan
terorganisir baik di Mesir. Dai mengajak rakyat Mesir untuk kembali kepada
sumber-sumber islam yang murni. Pada saat Hasan Al Banna dan para militernya
membasmi tokoh-tokoh politik iapun juga terbunuh pada tahun 1949 M.
Pemikiran-pemikiran Hasan Al Banna diantaranya:
·
Pandangan hidup barat memang cepat mendatangkan hasil dalam mengembangkan
pengetahuan yang bersifat praktis dan tekhnis, tetapi tidak mampu memberikan
kepada manusia cahaya kebenaran, harapan, keyakinan ataupun jalan keluar bagi
orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memperoleh ketenangan atau
ketentraman.[31][31]
·
Sepakat kepada para pemikir muslim akan adanya prinsip-prinsip dan
aturan-aturan yang luhur, terhormat, manusiawi, dan sempurna dari agama (islam)
ini yang jauh lebih praktis, lebih suci, lebih luhur, lebih lengkap, dan lebih
bagus dari prinsip dan aturan manapun yang hingga sekarang banyak dikemukakan
oleh para penemu teori dan perintis pembaharuan sosial.[32][32]
·
Perang dunia kedua itu banyak mrenggut jiwa masyarakat sehingga memotivasi
untuk menolarkan seperangkat pembaharuan dan pengorganisasian masyarakat
sebagai pemegang-pemegang untuk memerintah.[33][33]
3. Ali Syariati
Ali Syariati adalah
seorang alim besar, salah seorang pendiri gerakan intelektual islam di Iran,
guru besar, mujahid, dan pendiri “pusat penyebaran kebenaran islam” di Masyhad.
Selama empat tahun ayahnya berjuang untuk mengembalikan pemuda yang terdidik
barat ke pangkuan islam, melepaskan ereka pada materealisme, pemujaan barat,
dan permusuhan pada agama.
Pemikiran-pemikiran Ali
Syariati:
·
Islam bukanlah ideologi manusia yang terbatas pada masa dan persada
tertentu, tapi merupakan arus yang mengalir sepanjang perjalanan sejarah,
berasal dari mata air gunung yang jauh dan mengalir melintasi jalan berbatu
sebelum sampai kelaut.[34][34]
·
Rausyanfikr atau kaum intelektual adalah sekelompok orang yang terpanggil
untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskanya dalam
bahasa yang mudah difaham oleh setiap orang, menawarkan setrategi atau
alternatif pemecahan masalah. Dan harus menguasai ajaran Islam secara
islamologis.[35][35]
F.
Penutup
1. Pembaruan di Timur Tengah
adalah sebuah gerakan yang terjadi di Timur Tengah guna mengembalikan kejayaan
Islam.
2. Penyebab pembaruan adalah
sebagai berikut :
- Paham fatalis yang menghambat segala perkembangan Islam.
- Eropa yang berkembang dan memperluas kristenisasi dan wilayah jajahan.
- Pintu ijtihad tertutup
telah meluas di kalangan umat islam.
- Keutuhan umat islam
mulai pecah dalam bidang politik.
3. Beberapa tokoh pembaru
Islam dan pemikirannya :
- Muhammad Abduh yang memulai pembaruan dengan memperbarui sistem
pendidikan, sebagaimana dilakukan di Al-Azhar,
- Hasan Al Banna yang memersatukan umat Islam
yang diwujudkan dalam Ikhwanul Muslimin.
- Ali Syari’ati yang melakukan pembaruan berbasis paham filsafat.
[1][1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT bulan bintang, 1975 ), hlm.
11.
[2][2] H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2001), hlm. 4.
[5][5] M.Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 343.
[7][7] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 343.
[9][9] Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 141-142.
[10][10] H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam
Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 6.
[11][11] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 344-345
[13][13] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992, hlm. 28
[17][17] M.Q. Al-Baqil, ed,. Al-Mukhtar Min Tarikh Al-Jabari, Cairo, Matabi
‘Al-Sya’b, 1958, hlm. 287
[18][18] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992, hlm. 31-32
[25][25] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999, hlm. 107
[26][26] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2002, hlm. 954-955
[27][27] Harun Nasution, Pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran
dan gerakan. Jakarta: bulan bintang, 1975., hal. 62
[28][28]Ibid,63
[29][29] Ibid,65
[30][30] Ibid,67
[31][31] Jhon j Donohue dan jhon L expodio. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia
Masalah-Masalah. Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 1995, hal. 130
[32][32] Ibid,131
[33][33] Ibid,132
[34][34] Ali Syariati, Ideologi kaum intelektual. Bandung: Mizan. 1984., hal. 14
[35][35] Ibid,15
0 comments:
Post a Comment