Pages

 

Thursday, February 22, 2018

MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN

0 comments


 MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN


Mahasiswa PBA 2016 Semester II
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Email:
jurnalispba17@gmail.com
Abstrak
Makalah yang menjelaskan mengenai masa khulafaur rosyidin. Lebih terfokuskan  pada sudut pandang pada bagian system pergantian antar khalifah, sosial budaya pada masing-masing pemerintahan dan perbedaan pemikirin dari setiap khalifah. Keempat khalifah yang memiliki ciri tersendiri dalam masa pemerintahahnya.. Dari keempat khalifah yaitu abu bakar, umar bin khotob, utsman bin affan, dana li bin abi tholib. Para Khalifah menjalankan pemerintahan dengan bijaksana, dan penuh tanggungjawab, karena selama itulah yang mereka teladani dari sifat rosulullah.Masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin hanya berlangsung selama 30 tahun. Masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang penting dalam islam, karena pada masa ini islam mulai berkembang dari bidang politik, maupun bidang keilmuan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai masa kejayaan umat muslim.
Abstract

Papers describing the period rashidun. More focussed on the perception on the part of the system switching among caliph, socio-cultural and the respective governments of each caliph pemikirin difference. The fourth caliph has its own characteristics in pemerintahahnya period. Of the four caliphs that fuel ash, umar bin khotob, Uthman ibn Affan, li bin abi Tholib funds. The Khalifah governing wisely and responsibly, for that is how they look up from rosulullah nature. The reign of caliph only lasted for 30 years. Future caliph an important period in Islam, because at this time Islam began to develop from the fields of politics, as well as the fields of science, some even refer to it as the heyday of Muslims.

Keywoord: Khalifah, Tanggungjawab, Masyarakat.


A.  PENDAHULUAN
Khulafa’ Ar-Rasyidin adalah masa kepemimpinan pemerintahan setelah wafatnya Rasululah. Masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 30 tahun. Para pemimpin Negara yang memimpin pemerintahan di namakan Khalifah yang berarti pengganti. Pada masa Khulafaur Rasyidin, telah dibelakukan sistem pergantian khalifah yang bermacam-macam dan tidak sama antara Khalifah yang satu dengan yang lainnya. Para pemimpin Setelah khalifah terpilih, mereka masing-masing memiliki berbagai kebijakan yang mempengaruhi kondisi masyarakat  di sekitarnya. Di sisi lain, pada masa Khalifah terakhir telah terjadi perbedaan agama antar umat yang menyebabkan perbedaan pemahaman dalam beragama.
B.     KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PADA MASA KHULAFA’ AR-RASYIDIN

1.      Kondisi  Sosial Budaya Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Abu Bakar As-Shiddiq terangkat sebagai khalifah pertama, beliau melakukan kebijakan sebagai berikut :

A.    Pemberangkatan pasukan Usamah Bin Zaid
Sebelum mengatur persiapan penyerangan untuk pemberontak- pemberontak, terebih dahulu Abu Bakar menyempurnakan pasukan Usamah yang masih muda sekitar 17 tahun, yang baru didirikan langsung oleh Rasulullah. Pemberangkatan pasukan Usamah ditunda karena kematian Rasul. Selain itu masih ada banyak kepentingan yang belum diselesaikan. Usamah pun berangkat dan dikepungnyalah negeri Qudha’ah itu, 40 hari lamanya pertempuran hebat dengan musuh, diapun pulang dengan kemenangan.
B.     Perang melawan para pemberontak
Masalah utama umat islam adalah sebuah gerakan yang dikenal “kemurtadan”. Ada tiga golongan yang dianggap murtad.Pertama golongan adalah mereka yang menganggap adanya nabi setelah rosulullah. Kedua golongan yang mereka kembali keyakinan mereka sebelum masuk islam. Ketiga golongan mereka yang tidak menganggap pemerintahan Madinah (enggan membayar zakat), tapi mereka masih menganggap agama islam.[1][1]
Untuk golongan yang mempercai bahwa adanya nabi setelah rosulullah, mereka memiliki motif tersendiri  seperti halnya Aswad Ansa adalah orang pertama yang memulai pemberontakan di Yaman dan menulis kepada para wakil nabi, “kembalikan kepada kami apapun yang berasal dari tanah kami yang kalian kuasai”. Dari surat itu terbukti bahwa Aswad Ansa hanya ingin mengambil kekayaan atau wilayah yang pernah dimenangkan umat islam.
Sebenarnya ketiga kasus besar yang dihadapi abu bakar ini tidak berdiri sendiri , karena antara ketiganya saling terkait. Berpusat pada adanya nabi palsu yang mengajarkan bahwa tidak adanya pembayaran zakat, sehingga membuat sebagian muslim mengikuti alirannya. Semakin banyak orang yang melepas agama islamnya.
Untuk mengatasi masalah besar yang akan berakibat pada umat islam, akhirnya Abu Bakar memutuskan untuk mengadakan peperangan, setelah melakukan pengiriman surat kepada kepala kelompok murtad yaitu Aswad Ansa. Pada akhirnya dua pelopor besar yang mengaku akan dirinya nabi telat tewas di medan perang. Walaupun sebelumnya Abu Bakar sudah berusaha mendekati secara persuasif,antara lain dengan pengiriman surat terlebih dahulu.
Selain kemenangan yang diperoleh Usamah,ada beberapa perang yang ada dalam masa khalifah Abu Bakar. Diantaranya seperti perang yamamah (11 H/632 M) perang yang terjadi di kota Yamamah, yang dikarenakan adanya Musailamah Al Kadzab dan  yang mengaku sebagai nabi. Selain itu ada perang Yarmuk(13 H/634), yang dipimpin oleh Khalid Bin Walid, peperangan yang merebutkan negara syam.
C.     Mengumpulkan mushaf Al-Quran
Usaha pengumpulan mushaf ini merupakan salah satu kebijakan Abu Bakar dalam pemerintahannya, Abu Bakar mempercayakan kepada Zaid Bin Tsabit. Dengan cara penulisan ulang pada daun kurma, kulit binatang, dan hafalan kaum muslimin.
Pengumpulan mushaf ini dilakukan Abu Bakar untuk mengatasi semakin banyaknya penghafal Al-Quran yang mati dalam medan perang. Alasan lain adalah adanya peluang besar bagi orang kafir untuk memanfaatkan keuntungan individu, seperti halnya Musailamah yang membuat Al-Quran dengan cara mengumpulkan orang-orang dari kelompoknya dan memulai membuat ayat Al-Quran palsu yang terdiri dari porsa yang disusun dan diajarkan kepada pengikutnya. Bahkan, Musailamah sempat mengajarkan pengikutnya untuk tidak mengerjakan sholat subuh dan sholat magrib.[2][2]
D.    Kebijakan non agama.
Kebijakan ini lebih terfokus pada pemerintahan.

1.   Kebijakan-kebijakan perekonomian.
Dalam kebijakan ini Abu Bakar membuat semacam lembaga keuangan, walau masih dianggap sederhana namun pada zaman itu sudah termasuk sebuah kemajuan.Dari lembaga keuangan yang ada pasti ada sumber pemasukan untuk pengelolaan  lembaga tersebut.Di antara sumber yang ada dari pengumpulan zakat, sadaqoh, infaq umat, dan seperlima dari harta rampasan perang. Untuk pengalokasikannya yaitu untuk biaya peperangan, gaji prajurit, dan kebutuhan sosial lainnya.Selain itu, juga digunakan untuk gaji Khalifah dan gaji petugas lembaga . Jadi tidak heran jika Abu Bakar memberikan perhatian lebih untuk pembayaran zakat yang dimana menjadi sumber utama pemasukan kas negara tersebut.
2.   Kebijakan- kebijakan politik.
Dalam kebijakan ini Abu Bakar mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi.Untuk kebijakan ini sudah terlihat pada awal Abu Bakar berpidato dalam pidatonya, pidatonya yang mengandung prinsip-prinsip nasionalisme partisipatif egaliter, yang dimana pidato ini dianggap oleh banyak ahli sejarah statemen politik yang sangat maju. Dalam pidatonya pula sudah menggambarkan kesinambungan dengan prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan nabi. Selain  itu ada peraturan- peraturan tertentu dalam hal peperangan yang disampaikan kepada tentaranya.
3.   Pertahan atau militer
Dengan adanya kebijakan ini membuat gerakan militer lebih terorganisasi. Meskipun pertempuran itu identik menggunakan kekuatan, namun dengan adanya eksistensi agama dan pemerintahan maka suatu pasukan akan lebih kuat dari pada pasukan biasanya.[3][3]
E.     Kondisi  Sosial Budaya Masa  Khalifah Umar bin Khattab
Setelah terpilih sebagaim Khaifah kedua, Umar Bin Khattab membuat kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
1.      Peluasan wilayah
Pada masa khalifah Umar, sudah banyak negara- negara yang di dibebaskan dari penjajahan Imperium Romawi dan Persia.[4][4] Banyaknya faktor untuk menaklukan bangsa Romawi dan bangsa Persia. Diantaranya yaitu pertama, bangsa Romawi dan Persia tidak mengindahkan niat baik umat Islam. Kedua, ketika Islam masih dalam keadaan lemah Romawi dan Persia berusaha menghancurkannya. Ketiga, kedua negara tersebut terkenala akan kemakmurannya, namun keduanya tidak ingin bekerja sama dengan negeri Arab. Keempat,  kedua suku itu memprovokatori suku Badui untuk memusuhi Islam. Kelima, letak geografis negara Romawi dan Persia sangat statregis untuk keamanan dan pertahanan untuk kaum Islam.[5][5]

Masih beberapa bulan Umar menjadi khalifah,  perluasan wilayah islam menjadi lebih luas. Tahun 635 M, Damaskus , ibu kota Suriah, telah ditundukkan. Setahun setelahnya kota Suriah secara keseluruhan telah terkusai islam. Selanjutnya Umar mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah yang akan pergi ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah, dan Aleppo. Dilanjutkan kembali ke Jerusalem di Palestina. Dilanjutkan lagi ke arah Mesir, membuah hasil wilayah Afrika Utara.

Pada tahun 19 H, setelah bersusah payah dengan berbagai usaha akhirnya Mesir jatuh ke tangan Islam. Satu per satu kota yang ada di Mesir juga terkuasai seperti Babylonia(20 H), menyusul 7 bulan sesudahnya kota Iskandariyah.

Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya iskandariyah,  sempurnalah penaklukan. Walaupun sudah begitu banyak wilayah yang ada bukan berarti akan terdapat pada zona aman, karena tidak sedikit dari kelompok kecil yang masih mengingingkan kekalahan kerajaan Islam.[6][6]

Kunci kesuksesan yang dilakuakan Umar untuk memperluas wilayah Islam diantaranya yaitu, pertama,  Islam mengandung ajaran yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya namun Islam mengajarkan pula cara berhubungan dengan sesamanya. Dengan adanya kesamaan dalam derajat,  manusia tidak akan pernah merasa unggul dibanding manusia lain dalam artian mereka akan saling tolong-menolong, saling mengerti untuk menjalankan khidupan yang lebih baik.
Kedua yaitu mereka berperang bukan karena mereka menginginlan wilayah atau harta, namun mereka berperang niatan untuk menyebarkan agama Islam. Selain karena niatan kuat itu, mereka juga senang menjalankan kegiatan perang, atau bisa dikatakan sebagai kegemaran orang Arab. Jadi antara niat yang kuat dan dipadukan dengan kegemaran untuk melakukannya akan menghasilkan hasil yang maksimal.

Ketiga,  peratuan tentara Islam tidak mewajibkan anggotanya untuk beragama Islam, namun mereka tetap menyerukan agama Islam. Dengan maksud agar muslim yang ada adalah muslim yang benar- benar muslim haqqnya.
Keempat, banyaknya wilayah yang menyerahkan diri dikarenakan mereka mengetahui bahwasanya kerajaan Islam luas dan memiliki  kekayaan yang berlimpah. Sebagian mereka ada yang menyerahkan diri, bahkan ada dari sebagian wilayah yang menawarkan diri untuk menjadi bagian dari kerajaan Islam, atas dasar ingin mencari ketenangan dengan agama Islam.[7][7]
2.      Bidang administrasi
Dalam bidang administrasi  pada pemerintahan Umar semakin terdata . Dengan adanya perturan-peraturan baru dan penambahan kebijakan.Untuk lebih terkoordinir,  wilayah Islam dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Mekkah, Madinah, Suriah, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir  dan Palestina . Bentuk kebijakannya adalah diterbitkannya gaji, diaturnya administrasi pajak tanah, didirikannya pengadilan-pengadilan, dan memisahkan bidang eksekutif dan yudikatif.[8][8]
Selain itu,  adanya lembaga perpajakan yang secara dasar berawal dari keinginan awal Umar untuk mengatur keuangan masyarakatnya. Dengan system keuangan yang lebih terperinci akan mempermudah mengontrol keuangan masyarakat yang luas. Seperti adanya pendirikan AL-Kharaj  yang mengatur dalam perpajakan wilayah islam. Ghanimah yang mengatur tentang harta rampasan. Adanya perataan zakat bagi masyarakat yang membutuhkan terutama bagi orang orang yang perekonomian kebawah.[9][9]
3.      Bidang pengetahuan.
Berangsur-berangsur wilayah islam yang semakin meluas, maka bidang pengetahuan pun akan berkembang pesat. Dan sekaligus dengan bertambahnya pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang terletak di daerah islam yaitu di Kairo, Basrah dan Kufah. Tidak sedikit orang yang berdatangan untuk menimba ilmu yang ada pada wilayah tersebut. Selain itu Umar juga mendirikan masjid, pengadaan air minum dan kantor pemerintahan, untuk mengontrol perkembanagan yang ada di daerah itu.[10][10]
4.   Kondisi Sosial Budaya Pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Setelah terpiih sebagai khalifah yang ketiga, Khalifah Ustman Bin Affan memiliki kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
1.            Perluasan wilayah
Tercatat selama kepemimpinan Utsman,  terjadi banyak prestasi. Pemerintahan Utsman berlangsung selama 6 tahun lamanya. Wilayah-wilayah yang sudah di kuasai seperti Irak, Mesir terus dilindungi, dan untuk perluasannya semakin lebih strategis untuk penklukan wilayah lainnya. Pasukan yang ada di Mesir, di instruksikan untuk pergi ke Afrika Utara. Pertempuran besar yang dilakukan pada masa Utsman adalah pertempuran Zatis Sawari (peperangan tiang kapal ) yang terjadi di Laut tengah dekat lokasi Iskandariyah , antara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Containtin dan pasukan muslim dipimpin oleh Abdullah Bin Abi Sarah. Peperangan ini di sebut dengan tiang kapal karena dalam pertempuran ini terdapat 800 kapal milik musuh dan 200 milik muslim. Namun pasukan muslim tetap bisa menaklukan lawannya dan terus bergerak menaklukan wilayah lain seperti kota Kufah,[11][11]
2.      Penyusunan Al-Quran
Penyusunan  Al-Quran pada masa Utsman berbeda dengan masa Abu Bakar. Pada masa Utsman ditekankan pada  penyusunan bacaan Al-Quran, karena pada masa Umar terdapat banyak perbedaan dalam pembacaan Al-Quran. Disusun dan tulis kembali lalu di cetak untuk umat muslim pada masa itu. Penyusunan Al-Quran bermaksud untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam pembacaan Al-Quran.[12][12]
3.      Peristiwa fitnah
Pada masa khalifah Utsman terlalui dengan keamanan, stabilitas, dan kemakmuran, dan itu sangat berbeda denga masa khalifah sebelumnya. Namun di setiap khalifah pasti memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri, begitu juga dengan masa pemerintahan Utsman. Di akhir pemerintahan Utsman terjadi bencana besar atau terkenal dengan sebutan fitnah kubro. Kejadian tersebut mengakibatkankan terbunuhnya Utsman secara dholim, terjadinya perpecahan umat dan terjadi kerenggangan diantara umat islam. Fitnah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Saba’, dia adalah seorang kafir yang mengaku seorang muslim. Abdullah bin Saba’ mengelilingi dari satu daerah ke daerah lainnya untuk menaburkan rasa keraguan kepada pemerintahan saat itu. Selain menebarkan fitnah Abdullah Bin Saba’ pun juga mengancam khalifah Utsman dan para gubernur.[13][13]
Berbagai usaha telah dilakukan oleh Utsman Bin Affan untuk menenangkan umatnya,  namun mereka semakin menjadi-jadi. Pemberontakan terjadi di kota Madinah. Penduduk  Madinah mengepung rumah Utsman, hingga mereka melakukan perlakuan yang tidak lazim kepada khalifah. Mereka merampok baitul mal, dan membunuh Utsman dengan pedang.[14][14]
4.      Kondisi Sosial Budaya Pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Kebijakan-kebijakan yang telah dikakukan Ali Bin Abi Thalib dalam kekhaifahannya, yaitu sebagai berikut : 
Di awal kepemimpina Ali memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman Bin Affan, yang dikarenakan mereka masih termasuk keluarga Umayyah. Kebijakan kedua yaitu pengambilan kembali semua tanah yang pernah di hibahkan pada masa Utsman dengan jumlah yang sangat banyak. Kebijakan ini terlihat tidak adil untuk Umayyah, karena untuk menjamin keamanan pemerintahan pada saat itu.[15][15]karena dari golongan Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib.[16][16]
Pemerintahan pada masa khalifah Ali tidak stabil dikarenakan banyaknya pemberontakan yang ada. Lebih parahnya lagi pemberontakan yang terjadi dari golongan muslim sendiri. Pertama dari Aisyah dengan Zubair dan Thalhah.[17][17] Yang dikarenakan Aisyah tidak sejalan dalam pemikiran dengan Ali untuk pemecahan masalah pembunuh Utsman. Pada saat itu Abdullah Bin Saba’ membubuhi masalah yang ada dan mengakibatkan adanya perang jamal(36 H/656 M). Dan pada akhirnya pasukan dari Basrah sudah kembali, bahkan Ali memperlalukan Aisyah dengan baik dan mengantarkannya ke Makkah. Peperangan ini adalah peperangan pertama yang terjadi diantara dua golongan muslimin.[18][18]
Khalifah Ali selalu menghindari adanya pertumpahan darah daerah. Pepengan kedua antara umat muslim yaitu pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah. Peperangan yang terjadi karena khalifah Ali menginginkan penyelesaian bahwa Muawiyah tidak menerima Ali sebagai khalifah saat itu. Akhirnya terjadilah peperangan antara Ali dengan Muawiyah yang dinamakan perang siffin(37H/657M). dalam peperangan tersebut hampir saja pasukan Ali memenangkannya, namun panglima dari pasukan Muawiyah yaitu Amr bin Ash mengangkat mushaf dengan tombaknya yang berarti adanya permintaan damai. Sebenarnya khalifah Ali mengetahui bahwa itu hanya muslihat. Karena mendapat desakan dari pasukan akhirnya khalifah Ali menghentikan peperangan.[19][19]
Akhirnya terjadinya peristiwa Tahkim, yang dimana dari perwakilan dari khalifah Ali yaitu Abu Musa Al-‘asary. Sebaliknya dari pasukan Muawiyah diwakili oleh Amr Bin Ash. Dalam peristiwa ini pihak Ali dirugikan oleh Muawiyah karena Amr Bin Ash dapat mengalahkan Abu Musa Al-’asary. Dengan terpaksa peristiwa tahkim dimenangkan oleh Muawiyah.[20][20]
Dengan adanya peristiwa tahkim bukanlah akhir dari perdamaian umat islam. Namun masih ada kelompok Ali Bin Abi Thalib yang masih kurang setuju dangan mengalahnya Ali Bin Abi Thalib kepada Muawiyah. Yakni mereka kelompok Khawarij(golongan yang keluar dari ali). Golongan khawarij sangat merepotkan Ali, yang dimana mereka memberikan kesempatan untuk mendapatkan Mesir. Sedangkan kota Mesir adalah kota yang menjadi pusat kemakmuran umat Islam selama ini. Dengan begitu semakin melemah pasukan Ali Bin Abi Thalib karena mendengar bahwa Mesir jatuh ke Muawiyah.
Belum cukup dengan membuat pasukan Ali lemah, golongan dari Khawarij mengirimkan orang untuk menghabisi Ali Bin Abi Thalib . Ibnu Muljam berhasil membunuh Ali Bin Abi Thalib  pada tanggal 20 Ramadhan 40 H(660M). Tidak lama pula akhirnya Ibnu Muljam tertangkap dan di bunuh pula  pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib. [21][21]
C. SISTEM PERGANTIAN KEPALA NEGARA
1. Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat bingung mempermasalahkan siapa yang kelak akan menggantikan beliau sebaagai kepala negara, dikarenakan sejak awal Rasulullah tidak pernah membicarakan hal itu kepada sahabat-sahabatnya. Akan tetapi Rasulullah telah mengajari para sahabat satu prinsip yaitu musyawarah.Prinsip ini dapat dibuktikan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada setiap pergantian pemimpin periode Khuafa’ al-Rasyidin, meskipun sedikit berbeda versi.[22][22]
Harus diakui bahwa dalam menentukan pemimpin sebaiknya memikirkan komunitas umat muslim supaya tidak merugikan mereka. Realitasnya adalah waktu itu terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing lewat pemilihan tersebut, yakni kelompok Anshor dan Muhajirin.Karena wajar jika kemudian terjadi ketegangan dalam proses pemilihan Khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani Saidah. Keterangan lain menyebutkan bahwa keompok Bani Hasyim memiliki kepentingan dalam pemilihan tersebut. Ada juga yang mengatakan suku-suku Nomad mau tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku Quraisy.[23][23]
 Golongan Anshor menuntut bahwa mereka adalah orang-orang yang memberi tempat kepada Nabi pada saat awal-awal menyebarkan islam.Oleh karena itu, seorang penerus Nabi harus dipilih diantara mereka.. Selain itu, kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah orang yang berhak untuk menggantikan Rasulullah. Bani Hasyim mengemukakan alasan bahwa Allah dan Nabi Muhammad tidak menyerahkan masyarakat mukminin kepada kesempatan dan keinginan yang sifatnya sesaat dari badan pemilih, keluarga Hasyim telah membuat ketetapan bagi kepemimpinan islam yaitu dengan menunjuk orang tertentu untuk menggantikan Rasululah. Sayidina Ali, saudara sepupu nabi dari pihak ayah, adalah orang yang direncanakan sebagai pengganti yang sah .Namun alasan Bani Hasyim itu sangat lemah.[24][24]
Golongan Anshor dan suku Khazraj mengajukan Sa’ad bin Ubadah, tokoh ini tercatat sebagai orang yang tidak pernah menyatakan bai’ahnya kepada Abu Bakar dan Umar sampai akhir hayatnya sebagai calon khaifah. Abu Bakar ( golongan Muhajirin ) awalnya mengajukan Umar Bin Khattab dan Sa’ad bin Ubadah sebagai calon khalifah.[25][25]
Telah jelas bahwa golongan Muhajirin maupun Anshar berada di tepi jurang perselisihan di antara mereka . Abu Bakar berdiri dan merinci jasa-jasa kaum Anshar bagi tujuan islam. Akan tetapi pada waktu itu, dia menekankan kenyataan bahwa Allah yang maha kuasa telah menganugrahkan keistimewaan kepada kaum Muhajirin pada zaman permulaan islam karena mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi, menerima agamanya, tetap bersama beliau baik susah maupun senang meskipun seluruh kaumnya menuduh mereka berbohong dan yang menjadi musuh bebuyutan mereka adalah orang kafir. Merekalah orang-orang yang memperoleh keteladanan di dalam beribadah kepada Allah di muka bumi dan di dalam beriman kepada-Nya dan Rasulnya.Sebab itu , mereka mempunyai hak yang paling kuat atas kekhalifahan. Namun kaum Anshar terus menekan tuntutan mereka. Pertengkaran terus berlanjut . Kemudian kaum Anshar menyarankan bahwa harus ada dua kelompok, tetapi hal ini berarti menyebabkan pecahnya kesatuan islam.[26][26]
 Abu Bakar menanggapinya secara bijaksana untuk menghentikan keadaan tersebut , kemudian dia maju ke depan kaum muslimin dan berkata “ saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih di antara kedua orang ini, “ sambil menunjuk Umar dan Abu Ubaidah dan menyebutkan beberapa kebajikan mereka. Akan tetapi keduanya berkata “ Tidak, kami tidak bisa lebih mengutamakan kami sendiri daripada Anda di dalam hal ini. Tidak diragukan  anda adalah orang yang paling baik diantara kaum Muhajirin.“ Umar, seorang sangat dinamis dan mempunyai kepribadian kuat , berbicara untuk mendukung Abu Bakar kepada kaum Anshar. Ketika kedua kelompok mayoritas ini menyetujui, kedua kelompok yang lainnya, harus menerima keputusan itu.Umar adalah orang yang pertama melakukan sumpah setia kepada Abu Bakar. Kemudian diikuti oleh Usman, Abu Ubaidah, dan Abdurrahman bin Auf dan khalayak ramai ikut maju kedepan dengan tujuan menyatakan kesetiaan kepada Abu Bakar .Dengan adanya itu, maka Abu Bakar terpiih sebagai Khalifah.[27][27]
Setelah terpilihnya Abu Bakar, hari berikutnya umat Islam berkumpul di dalam Masjid Nabi untuk menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar yang sebenarnya. Ketika sumpah setia telah selesai diucapkan, Khalifah yang terpilih memberikan pidatonya kepada hadirin,“ Wahai manusia! Saya telah di angkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah!  Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, saya mengambil hak daripadanya, sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku".[28][28]
2. Umar Bin Khattab
Abu Bakar wafat pada tanggal 634 M /13 H. Sebelum Abu Bakar wafat, beliau  menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Hal ini merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan.Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar menunjuk Umar menjadi khalifah. Pertama, kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat islam ke jurang perpecahan akan terulang lagi, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya. Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. Sementara itu,  sebagian pasukan mujahidin bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak yang lainnya.[29][29]
Umar menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulillah, artinya pengganti dari pengganti rasulullah. Umar juga memperkenalkan istilah Amir al-Mukminin kepada umat islam. Bila dilihat dalam catatan sejarah, secara kekeluargaan Umar bin Khattab mempunyai kekerabatan dengan Rasulullah , yaitu pada kakek buyut ketujuh.Ia termasuk suku Quraisy berasal dari Banu Adi. Lahir di Mekkah sebelum perang Fajar tiga belas tahun setelah kelahiran Nabi, atau pada tahun empat puluh sebelum nabi hijrah.[30][30]
 Namun demikian, mengenai pengangkatan Umar sebagai Khalifah tidak ada hubungannya dengan kekerabatan tersebut, tetapi memang Umar dinilai sebagai orang yang memilki sifat-sifat kepemimpinan besar dan selama Pemerintahan Abu Bakar, kepribadiannya berkembang pesat. Perlu diketahui bahwa setelah Rasulullah wafat, Umar Bin Khattab adalah kandidat yang di usulkan oleh kaum Muhajirin. Karena ia sangat berpengaruh ketika mengarahkan orang-orang Madinah untuk menerima Abu Bakar sebagai khalifah, dan hal itu dapat disimpulkan bahwa ia mereka percayai.. Terpilihnya Umar Bin Khattab sebagai khalifah, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Ia mendapat mandat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh khalifah sebelumnya. Pada dasarnya semua mendukung maksud Abu Bakar untuk menunjuk Umar sebagai penggantinya, meskipun ada beberapa diantaranya yang tidak setuju. Ia melakukan tata cara dengan mengadakan musyawarah tertutup dengan beberapa sahabat senior, diantara mereka adalah Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan dari kelompok  muhajirin serta As’ad bin Khudair dari kelompok Anshar.[31][31]
Abu Bakar berwasiat yang didasarkan pada musyawarah yang berlangsung sebelumnya ini sangat penting untuk menghindari pertengkaran sebagaimana yang terjadi di balai pertemuan Bani Saidah sewaktu pengangkatannya menjadi khalifah dulu, ia khawatir bila tidak segera menunjuk pengganti akan timbul perselisihan di kalangan sahabat yang dapat lebih memperburuk situasi daripada apa yang terjadi ketika nabi wafat dulu. Dan pertimbangan Abu Bakar ini menjadikan masyarakat islam di zaman Umar bin Khattab menjadi kondusif, yang sekaligus menjadi pondasi penting bagi pengembangan pemerintahannya. Secara ketatanegaraan, kebijakan yang dilakukan Abu Bakar dengan menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya dianggap kewenangan alternative yang mungkin dapat dilakukan sebagai kepala negara.
Dilihat dari istilah yang dipakai, kata khalifah yang berarti pengganti, belum menunjukkan wujud permanen sistem kepemimpinan yang ada atau menurut pandangan lain yang menilai bahwa pada masa itu belum terdapat pola baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Artinya masih ada peluang bagi Abu Bakar untuk melakukan kebijakan yang berbeda sebelumnya, dan kebijakan ini masih dalam pertimbangan yang arif, karena didasari beberapa alasan yang bisa diterima berdasarkan situasi dan kondisi pada saat itu. Dan pada kenyataannya kebijakan Abu Bakar disetujui oleh umat islam pada saat itu. Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua pada hari selasa tanggal 22 Jumadil Akhir 13 H / 634 M dalam suatu bai’at umum secara sepakat dan terbuka di masjid Nabawi. [32][32]
Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khattab setelah di bai’at atau dilantik menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabawi di hadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan juwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat daam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat daripadaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. ” “ Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada suatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh seseorang, selain aku dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku, sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik tentu akan berbuat baik kepada mereka jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka.”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adaah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang.Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik.Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya, serta hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.[33][33]
3.Usman bin Affan
Menjelang ajalnya, Umar mengangkat dewan yang terdiri dari Usman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah,  Abdurrahman bin Auf dan Said bin Abi Waqqas untuk memilih khalifah dari mereka sendiri jikalau Umar telah wafat. Pada saat itu Thalhah sedang berada di Madinah, sebab itu kelima calon tersebut harus memutuskan pengganti khalifah.[34][34]
Dewan-dewan tersebut diketuai oleh Abdurrahman bin Auf. Mereka semua bermusyawarah hingga terpilihlah Usman sebagai khalifah. Yang menjadi pertimbangan Umar memilih mereka yaitu karena mereka berenam itu dulu dinyatakan sebagai calon-calon penghuni surga, sehingga Umar tidak mendahulukan faktor Muhajirin dan Anshar, karena itu akan menyebabkan perselisihan.[35][35]
Mekanisme pemilihan khalifah ini, ditentukan dengan cara berikut: pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah orang yang paling banyak mendapatkan suara. Kedua, jika suara yang diterima khalifah ada yang sama, maka yang menentukan antara keduanya adalah Abdullah bin Umar. Ketiga, jika apa yang dipilih oleh Abdullah bin Umar tidak dapat diterima, maka yang dicalonkan oleh Abdurrahman bin Auf yang menjadi khalifah. Apabila ada yang menentang pilihan Abdurrahman bin Auf maka akan dibunuh.[36][36]
Ada diriwayatkan, bahwa Umar pernah berkata “ andaikata saya menunjuk siapa yang akan menjadi khalifah sesudah saya, maka telah pernah orang yang lebih baik dari pada saya ( maksudnya Abu Bakara ) menunjuk orang yang akan menjadi khalifah sesudahnya. Dan kalau saya tidak menunjuk, maka telah pernah pula orang yang lebih baik daripada saya ( maksudnya Rasulullah SAW ) berbuat demikian”.[37][37]Abdur Rahman Bin Auf mengusulkan agar dirinya diperkenankan mengundurkan diri, akan tetapi dia tetap bermusyawarah bersama kaum musimin , dan dia memilih Umar sebagai seorang yang menjadi khalifah. Usulan Abdur Rahman Bin Auf diterima oleh para sahabat, dan diadakanlah perjanjian.
Para sahabat berjanji memenuhi usulan Abdur Rahman Bin Auf , dan Abdur Rahman berjanji akan berlaku benar dan adil. Kemudian Abdur Rahman bermusyawarah dengan calon-calon khalifah yang ditunjuk oleh Umar. Pada saat akan adanya pemilihan, Dari permusyawarahan itu, semua usulan tertuju pada Usman dan Ali. Dalam menjalankan tugasnya untuk memilih pemimpin umat islam ternyata terjadi kompetisi yang ketat, yang kemudian berkembang dan menghasilkan polarisasi di kalangan umat islam. Mereka terpecah menjadi dua kubu , yaitu pendukung Ali yang dikenal dengan kelompok Bani Hasyim dan pendukung Usman yang dikenal kelompok Bani Umayyah. Dalam suasana demikian Abdur Rahman bin Auf memanggil Ali dan Usman secara bergantian dan menyatakan ha yang sama yaitu “ Seandainya dipilih menjadi Khalifah sanggupkah menegakkan kitab Allah dan Sunnah Rasul dan mengikuti kebijaksanaan dua khalifah sebelumnya ? “ mendengar jawaban keduanya, maka diputuskan bahwa  Usman yang terpilih, karena Usman lebih tua daripada Ali dan perilaku beliau lunak daripada Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya pembai’atan Usman dilakukan pada hari Senin 30 Dzulhijjah 24 H. Setelah terpilih menjadi khalifah, Usman memeriksa perkara pembunuhan Ubaidullah yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah dan seorang anak Abu Lu’luah yang masih kecil. Meskipun tugas pemilihan khalifah sudah diaksanakan, tampaknya ada kekecewaan pada diri Ali atas cara yang dipergunakan oleh Abdur Rahman bin Auf , bahkan menuduh bahwa Usman telah bersekongkol bersama Abdur Rahman bin Auf. Sebab jika Usman terpilih , maka kelompok Abdur Rahman yang berkuasa sebab Abdur Rahman bin Auf adalah ipar Usman dan keluarga Umayyah.[38][38] Umat islam memberikan  sumpah setia kepada Umar. Dengan adanya sumpah tersebut, maka Usman adalah pengganti Umar. Orang keenam yang di pilih sebagai calon Khalifah yaitu thahah setibanya di Madinah langsung menyatakan sumpah setianya kepada Usman. [39][39]
4.Ali bin Abi Thalib
Situasi kota Madinah dicekam oleh kerisauan dan kecemasan setelah Khalifah Usman terbunuh oleh kelompok pemberontak yang terjadi kira-kira selama lima hari , hal ini bukan karena umat pada saat itu sudah kehilangan pemimpinnya tapi yang lebih mencemaskan lagi adalah dikuasainya Madinah oleh kelompok pemberontak. Selanjutnya kaum pemberontak memaksa penduduk Madinah untuk mencari pengganti khalifah. Maka penduduk Madinah dan Al-Ghafiq ibn Harb mencari orang yang bersedia diangkat menjadi khalifah.Sehingga proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Kalau Abu Bakar diangkat melalui musyawarah terbuka di Tsaqifah bani Saidah, Umar bin Khattab melalui penunjukan pendahulunya , Utsman bin Affan melalui Majelis al-Syuro yang dibentuk Umar, sedangkan Ali dipilih menjadi khalifah dalam  suasana yang kacau dan tidak banyak melibatkan sahabat senior. Saat itu ada lima orang yang di calonkan. Namun dua diantaranya telah menyatakan ketidaktersediaannya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas dan Ibnu Umar, sehingga calon yang diharapkan tinggal Ali, Thalhah dan Zuheir. Ali tampaknya adalah calon yang paling kuat, disamping ia adalah orang yang pertama kali masuk islam. Maka ketika kaum pemberontak mengumpulkan penduduk Madinah dan mendesak mereka untuk memilih khalifah, Ali lah yang serentak mereka pilih.Ali beranggapan bahwa pengangkatan khalifah merupakan urusan Majlis al-Syura .karena itu, semula ia menolak atas pemilihan tersebut. Ali menghendaki pengangkatan khalifah melalui musyawarah Ahl al-Syura.Ini menunjukkan bahwa Ali memang didesak oleh kaum pemberontak dan penduduk Madinah untuk menerima jabatan khalifah.[40][40]
Dengan situasi yang terdesak, akhirnya Ali terpilih menjadi khalifah. Keputusan tersebut diperkuat dengan dibai’atnya Ali oleh Al-Asytar al-Nakha’I ( orang pertama ) yang kemudian diikuti khalayak, termasuk Thalhah dan Zubeir walaupun daam keadaan terpaksa. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Juni 656 M, setiap orang memberikan sumpah setia kepadanya, dan dia dinyatakan sebagai khalifah islam. Pengangkatan Ali sebagai khalifah umat islam ini sedikit banyak masih menyisakan masalah. Pertama, pemilihan Ali sebagai khalifah telah diikuti oleh kaum pembangkang yang datang dari berbagai penjuru untuk mengobarkan pemberontakan pada Utsman.Kedua, sikap netral yang ditunjukkan oleh beberapa sahabat besar dalam persoalan baiat pada Ali. Dan ketiga, penuntutan bela atas pembunuhan Utsman yang dilakukan oleh Thalhah, Zubeir dan Aisyah di satu pihak dan Muawiyah di lain pihak.[41][41]
Ali bin Abi Thalib dibai’at oleh semua orang, baik Muhajirin maupun Anshar beserta sahabat , yaitu Thalhah dan Zubair, akan tetapi ada beberapa sahabat yang tidak mau untuk membai’at Ali, yaitu Abdulah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam. Ibnu Umar dan Sa’ad bersedia berbai’at setelah semua umat berbai’at. Sedangkan Thalhah dan Zubair terpaksa berbai’at jika ia diangkat menjadi gubernur Kuffah dan Basrah. Akan tetapi di riwayat lain menyatakan bahwa mereka mau berbai’at karena sudah tidak ada lagi yang dipilih, kecuali Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at , ia berpidato mengenai penerimaan jabatannya: “ Sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk. Kewajiban-kewajiban yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan apa yang haram, dan memuliakan kehormatan seorang muslim, berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid orang-orang muslim. Hendaklah setia muslim menyelamatkan manusia dengan kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim, kecuali ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melakukan urusan kepentingan umum. Sesungguhnya ( urusan ) manusia menanti di depan kamu dan orang yang di belakang kamu sekarang bisa membatasi , meringankan ( urusan ) kamu . bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan negeri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab( dalam segala urusan ) termasuk urusan tanah dan binatang ( lingkungan ). Dan taatlah kepada Allah dan jangan kamu mendurhakainya.Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu melihat yang buruk, tinggalkanah.Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit agi tertindas di muka bumi.Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak bisa lagi untuk saya lakukan. Iman harus kuat, teguh, dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap saya ini adaah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama islam”. [42][42]
Sebagai seorang khalifah, Ali meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Dia akan mengikuti prinsip-prinsip baitul mal. Dia memutuskan untuk mengembalikan ke pembendaharaan negara yang diambil alih oleh Bani Umayyah dan lain-lain pada masa Usman bin Affan sebagai khalifah. Khalifah Ali juga akan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Dia mengangkat Usman bin Hanif sebagai gubernur Basrah menggantikan Ibnu Amir. Qais dikirim ke Mesir untuk menjadi gubernur disana menggantikan Abdullah. Gubernur-gubernur Kuffah dan Siria dimintanya meletakkan jabatan, tetapi Muawiyah , gubernur Siria, menolak menaati Ali sebagai khalifah . oleh karena itu , khalifah Ali harus menghadapi kesulitan-kesulitan dengan Muawiyah.

C.    PERBEDAAN PEMAHAMAN KEAGAMAAN PADA MASA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Dimulai dari terbunuhnya Usman, dan Ali terpilih naik sebagai khalifah.Terjadi lagi finah yang cukup menonjol.Pertama terjadinya perselisihan Ali bin Abi Talib di satu pihak, dengan Talhah bin Ubaidillah dan zubair bin awwam yang juga melibatkan Aisyah Ummulmukminin di pihak lain, yang dikenal dengan insiden unta tahun 36 H. (656 M). Beberapa bulan setelah itu Mu’awiyah melancarkan perang  terhadap Ali, dalam Perang  Siffin di Raqqah, Timur laut Suria, Pada zulhizah 36 (juni 657).
  Banyak sumber yang meneyebutkan bahwa pasukan Mu’awiyah sudah hampir kalah, seperti sudah kita lihat diatas, lalu Amr bin Ash mengusulkan kepada Mu’awiyah mengangkat Qur’an di ujung  tombak dan mengajak tahkim dengan Qur’an atas pertikaian diantara kaum muslimin.Dalam situasi begini inilah muncul politikus ulung yang sukar di cari tandingannya waktu itu. Amr bin Ash, diplomat yang cukup terkenal di semenanjung Arab. Ia pandai mencari jalan keluar dalam situasi sulit. Ia menyarankan kepada Muawiyah agar anggota-anggota pasukannya yang di garis paling depan mengikatkan mushaf qur’an ke ujung  tombak ke ujung tombak sebagai tanda bahwa perang harus dihentikan dan diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum Qur’an, yang terkenal dengan sebutan nama tahkim. Melihat kitab suci diikatkan di ujung tombak itu Ali sangsi : dengan itikad baik demi perdamaian seperti yang dilakukan insiden unta dulu ataukah itu sebuah siasat untuk menjebak lawan ? Imam Ali menyadari bahwa itu adalah suatu tipu muslihat.Tetapi sebagian pemuka pasukannya yang dikenal orang baik-baik tidak sependapat. Mereka siap berhenti bertempur. Mereka sudah jemu berperang yang sudah berlangsung selama tiga bulan itu, dan memaksanya menerima gencatan senjata dengan jalan tahkim.Perbedaan pendapat ini telah menimbulkan ketidakserasian di antara pengikut imam Ali yang ingin terus bertempur dengan yang setuju gencatan senjata.[43][43]
Maka al-hasil pertempuran itu berhenti, Ali bin Abi thalib langsung mengirim utusan kepada Mu’awiyah untuk meminta penjelasan atas rencana perdamaian ini. Mu’awiyah mengatakan kapada utusan Ali untuk masing-masih pihak harus menyediakan dua orang wasit yang netral. Ketika berita ini sampai kepada Ali, Ali mengutus kepada Abdullah bin Qais atau yang dikenal dengan Abu Musa al-Asy’ary sebagai wakil pengikut Ali, sementara dari pihak Mu’awiyah mengutus Amr bin Ash sbegai wakil pengikut Mu’awiyah.
Perundingan pertama anatara Abu Musa dengan Amr bin As terjadi pada 13 safar 37 Feberuari 658 dalam bentuk Tahkim Al-Qur’an di Azruh. Menurut beberapa sejarawan bahwa hasil dari perundingan pertama ini tidak dicatat tetapi berlangsung secara lisan, hal ini menandakan bahwa kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan menegenai pergantian Khalifah Usman bin Affan, oleh karenanya kedua belah pihak ini mengambil jalan tengah, untuk menyerahkan pemilihan khalifah kepada kaum muslimin dengan membentuk dewan syura’ untuk menentukan pengganti Khalifah Usman bin Affan.
Ketika itu Abu Musa berkata kepada Amr supaya menyampaikan hasil keputusan itu. Seolah-olah dia menonjolkan sikap rendah hatinya kepada kaum muslimin dengan menuakan Abu Musa sebagai penyampai hasil keputusan perundingan itu, Abu Musa pun maju dan berkata kepada kaum Muslimin “ setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik dari masalah yang kemelut ini selain mengambil langkah ini demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah sama-sama sepakat untuk memecat Ali dan Muawiyah, dan selanjutnya kiita kembalikan kepada majelis syura’ diantara kaum muslimin itu sendiri “ [44][44]
Setelah Abu Musa menyampaikan hasil keputusan itu, Amr bin Ash berdiri dan berkata “ Aku tidak menganggap Ali tepat untuk jabatan kekhalifahan, tetapi menurut pendapatku Muawiyahlah yang pantas kalian pilih untuk jabatan kekahlifahan” setelah kaum muslimin mendengar statement Amr bin Ash. Terjadilah kegemparan besar yang membuat kaum muslimin bingung tujuh keliling.
Dengan demikian arbitrasi atau Tahkim terbukti menjadi sia-sia dan harapan-harapan perdamian telah sirna.Akhirnya dua kelompok kaum muslimin meninggalkan tempat dengan rasa kecewa yang sangat. Alipun menyadari bahwa Peneriamaan artbitrasi atau tahkim ini benar-benar terbukti mendatangkan malapetaka, Ali bagaikan kehilangan kotak sebelum kotak itu dibuka.
Ketika Ali r.a. mendengar hasil arbitarsi ini ia mengatakan, “Keputusan itu tidak didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw. yang mana kedua itu adalah syarat untuk arbitriasi. Oleh karena itu, tidak dapat diterima, ketika Ali berada di Masjid Jami’ Kufah dan mengajak kaum muslim untuk mempersiapkan peperangan terhadap Syiria. Dari peristiwa inilah muncul pemberontakan secara terbuka yang dilakukan oleh sekelompok baru, yang diberi nama “Khawarij” kelompok baru ini sudah terbukti dalam sejarah islam bahwa kelompok ini adalah sangat berbahaya dari kelompok lain ataupun kelompok yang telah ada sebelumnya.
  Sebagaimana hal itu telah dibicarakan dalam hubungannya dengan pembunuhan Ustman r.a. kaum muslimin telah tebagi kedalam empat kelompok utama, yakni Utsmani, Syi’ah Ali. Marhabah dan Ahli Sunnah wal jamaah. Orang-orang Marhabah telah terserap ke dalam kelompok-kelompok lain.Tiga kelompok yang tersisa tetap ada. Sekarang kelompok keempat dari orang-orang khawarij telah terbentuk..[45][45]
Berikut ini akar-akar Khawarijisme dibentuk dari empat hal :
a)   Mereka memandang “Ali, Utsman, Muawiyah, dan para prajurit yang terlibat dalam perang jamal serta mereka yang membenarkan arbitrasi, sebagai kafir, kecuali mereka yang menyokong arbitrasi tetapi bertobat setelah itu.
b)   Mereka mengkafirkan siapa saja yang tidak percaya akan kekafiran Ali, Utsman, Muawiyah, serta mereka yang disebutdi butir (a) di atas.
c)   Bagi mereka, iman tidak hanya berarti percaya terhadap sesuatu tanpa menimbang, tetapi juga menerjemahkan perintah ke dalam perbuatan dan menghindari apa yang dilarang termasuk bagian dari iman. Iman adalah suatu persenyawaan dari keyakinan dan perbuatan.
d)   Ada keharusan tanpa syarat untuk berontak terhadap pemimpin atau pemerintah yang tidak adil. Mereka percaya bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak bersyarat apapun, dan dalam segala keadaan perintah ilahi ini harus dilaksanakan.
Sesuai dengan pandangan-pandangan itu, orang-orang ini memulai eksistensi mereka dengan pengakuan bahwa seluruh manusia di muka bumi adalah kafir, yang darah mereka halal dan semuanya ahli neraka. Selain itu keyakinan khawarij terhadap kekhalifahan di interpretasikan dengan senang oleh para pemikir modern khawarij mengatakan bahwa khalifah harus dipilih melalui pemilihan bebas dan bahwa orang yang pantas menduduki jabatan ini adalah orang yang memiliki kelayakan dalam iman dan kesalehan, baik ia dari suku Quraisy atau bukan, dari suku terpandang dan masyhur atau dari suku sepele dan terbelakang, Arab atau Ajam. Kemudian jika setelah terpilih menjadi khalifah namun menjalankan roda pemerintahannya bertentangan dengan kepentingan umat islam, maka wajib hukumnya ia harus digulingkan dari kekahalifahan, dan jika ia menolak, maka wajib hukumnya diperangi sampai tewas. Hal ini Khawarijisme percaya bahwa kekhalifahan adalah daulah ilahi dan karena itu khalifah tidak boleh selain orang yang diangkat oleh Tuhan.[46][46]
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak (مشترك) dalam nash al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.
Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampurdengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237)
Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.
Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan imam syafi’i dalam qaul jadidnya.
Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini sebagai sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarak.
Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat al-Qur’an. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah AWT:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar( QS. al-Maidah:33
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari permukiman bumi. Sdangkan ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman mati suda h ada ketentuannya secara jelas.

E.PENUTUP  
     Sebagai khalifah, hendaknya menjalan semua kepercayaan yang penduduk amanahkan kepada sang pengganti rosulullah. Bukan kepada manusia saja mereka bertanggungjawab namun kepada mahkluk sekitarnya pula seperti hewan dan tanaman yang ada pada masa itu. Selain bertanggungjawab mereka juga memiliki tugas penting yaitu, mengyebarkan agama islam, membasmi kekafiran, menyamakan derajat manusia lebih fokusnya pada perempuan, dan diberi kemanan bagi masyarakatnya. Namun dibalik tugas yang beratitu khalifah tetaplah manusia yang memiliki hawa nafsu dan hati nurani.Yang dimana ketika keduannya berjalan bersamaan dalam satu kehidupan.
Oleh karena itu allah memberikan satu kelebihan untuk khalifah tersendiri yaitu akal sehatyang dimana yang akan dijalankan dalam pemerintahahnya. Dan yang paling penting diketahui adala semua manusia adalah termasuk khalifah.Khilafiyah dalam hukum islam adalah merupakan khazanah. Bagi orang yang kurang memahami watak kitab-kitab fiqh yang banyak memuat masalh-masalah hukum yang diperselisihkan hukumnya, sering beranggapan bahwa fiqh itu sebagai pendapat pribadi yang ditrasfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum islam itu bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasu SAW.
Syaekh al-Bayanuny menyebutkan dalam suatu kitabnya, دراسات في الاختلافات الفقهية bahwa keragaman pendapat dalam berbagai furu, sebenarnya merupakan buah yang bermacam-macam dari sebatang pohon, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, bukan buah yang bermacam-macam dari berbagai macam pohon seperti dugaan sementara orang. Batang pohonnya adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil Syara dan metode analisis yang beragam, sedang buahnya adalah hukum fiqh dengan segala coraknya
Fiqh, sebagai hasil ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) otomatis akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati diri para ulama mazhab adanya sika sportif dan toleran apabila dihadapkan pada penomena tersebut, serta tetap konsesten kepada prinsip firman Allah SWT. Yaitu:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Jika kamu berlainan pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya.(Q.S. al-Nisa 59).







[1][1] Ibid, hlm 23
[2][2] Ibid, hlm 41
[3][3] Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung:CV PUSTAKA SETIA,2016),hlm 71
[4][4] Ibid,hlm 20
[5][5] Ibid, hlm 81
[6][6] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,(Yogyakarta:DIVA Press, 2015),hlm208-211.

[7][7] Ibid,hlm38-40
[8][8] Ibid,hlm 41
[9][9] Ibid, hlm 213
[10][10] Ibid, hlm 214
[11][11] Ibid, hlm 105
[12][12] Ibid, hlm 105
[13][13] Ibud, hlm 169
[14][14] Ibid, hlm 170
[15][15] Ibid, 173
[16][16] Ibid. hlm 19
[17][17] Ibid, hlm 174
[18][18] Ibid, 174-175
[19][19] Ibid, hlm 174-175
[20][20] Ibid, hlm 98
[21][21] Ibid, hlm 242-243
[22][22]Ali sodiqin, Sejarah Peradaban Islam( Yogyakarta : Lesfi , 2002 ) , hlm. 45
[23][23]Imam Fu’adi,Sejarah Peradaban Isam (Yogyakarta:Teras,2011), hlm.21-22
[24][24] Syed Mahmudunnasir,Islam Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi ( Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,2005), hlm.135-136
[25][25]Ibid, hlm 22
[26][26]Ibid.,hlm.136.
[27][27]Ibid,.hlm. 137.
[28][28]A.Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam , Jilid 1, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru), hlm 196.
[29][29]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2016), hlm. 78-79
[30][30]Ibid, hlm.30-31
[31][31]Ibid, hlm. 32-33
[32][32]Ibid, hlm. 33-34
[33][33]Ibid .hlm. 79-80
[34][34]Ibid, hlm. 158
[35][35]Ibid, hlm.47
[36][36]Ibid, hlm.87
[37][37]Ibid, hlm. 230.
[38][38]Ibid, hlm.47- 48
[39][39]Ibid, hlm. 158
[40][40]Ibid, hlm 58
[41][41]Ibid , hlm. 165
[42][42]Ibid, hlm 94-95
[43][43] Ali bin Abi thalib sampai kepada hasan dan husain hal :323-324
                                                                              
[44][44] Ali bin Abi thalib sampai kepada hasan dan husain cetakan ke 3hal :262-263
[45][45] Sisi hidup para khalifah saleh hal : 228-229
[46][46] Ali bin Abi Thalib kekuatan dan kesempurnaannya hal : 113-116

0 comments:

Post a Comment