MASA KEPEMIMPINAN
KHULAFAUR RASYIDIN
Mahasiswa PBA 2016
Semester II
UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Email:
jurnalispba17@gmail.com
Abstrak
Makalah yang menjelaskan mengenai masa khulafaur rosyidin. Lebih
terfokuskan pada sudut pandang pada
bagian system pergantian antar khalifah, sosial budaya pada masing-masing
pemerintahan dan perbedaan pemikirin dari setiap khalifah. Keempat khalifah
yang memiliki ciri tersendiri dalam masa pemerintahahnya.. Dari keempat
khalifah yaitu abu bakar, umar bin khotob, utsman bin affan, dana li bin abi
tholib. Para Khalifah menjalankan pemerintahan dengan bijaksana, dan penuh
tanggungjawab, karena selama itulah yang mereka teladani dari sifat
rosulullah.Masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin hanya berlangsung selama 30
tahun. Masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa yang penting dalam islam, karena
pada masa ini islam mulai berkembang dari bidang politik, maupun bidang
keilmuan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai masa kejayaan umat muslim.
Abstract
Papers describing the period rashidun. More focussed
on the perception on the part of the system switching among caliph,
socio-cultural and the respective governments of each caliph pemikirin
difference. The fourth caliph has its own characteristics in pemerintahahnya
period. Of the four caliphs that fuel ash, umar bin khotob, Uthman ibn Affan,
li bin abi Tholib funds. The Khalifah governing wisely and responsibly, for
that is how they look up from rosulullah nature. The reign of caliph only
lasted for 30 years. Future caliph an important period in Islam, because at
this time Islam began to develop from the fields of politics, as well as the
fields of science, some even refer to it as the heyday of Muslims.
Keywoord: Khalifah, Tanggungjawab, Masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Khulafa’ Ar-Rasyidin adalah masa kepemimpinan pemerintahan setelah wafatnya
Rasululah. Masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 30 tahun.
Para pemimpin Negara yang memimpin pemerintahan di namakan Khalifah yang
berarti pengganti. Pada masa Khulafaur Rasyidin, telah dibelakukan sistem
pergantian khalifah yang bermacam-macam dan tidak sama antara Khalifah yang
satu dengan yang lainnya. Para pemimpin Setelah khalifah terpilih, mereka
masing-masing memiliki berbagai kebijakan yang mempengaruhi kondisi
masyarakat di sekitarnya. Di sisi lain,
pada masa Khalifah terakhir telah terjadi perbedaan agama antar umat yang
menyebabkan perbedaan pemahaman dalam beragama.
B.
KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PADA MASA KHULAFA’ AR-RASYIDIN
1.
Kondisi Sosial Budaya Pada Masa
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Abu Bakar
As-Shiddiq terangkat sebagai khalifah pertama, beliau melakukan kebijakan
sebagai berikut :
A. Pemberangkatan pasukan
Usamah Bin Zaid
Sebelum mengatur
persiapan penyerangan untuk pemberontak- pemberontak, terebih dahulu Abu Bakar
menyempurnakan pasukan Usamah yang masih muda sekitar 17 tahun, yang baru
didirikan langsung oleh Rasulullah. Pemberangkatan pasukan Usamah ditunda
karena kematian Rasul. Selain itu masih ada banyak kepentingan yang belum
diselesaikan. Usamah pun berangkat dan dikepungnyalah negeri Qudha’ah itu, 40
hari lamanya pertempuran hebat dengan musuh, diapun pulang dengan kemenangan.
B. Perang melawan para
pemberontak
Masalah utama umat
islam adalah sebuah gerakan yang dikenal “kemurtadan”. Ada tiga golongan yang
dianggap murtad.Pertama golongan adalah mereka yang menganggap adanya nabi
setelah rosulullah. Kedua golongan yang mereka kembali keyakinan mereka sebelum
masuk islam. Ketiga golongan mereka yang tidak menganggap pemerintahan Madinah
(enggan membayar zakat), tapi mereka masih menganggap agama islam.[1][1]
Untuk golongan yang
mempercai bahwa adanya nabi setelah rosulullah, mereka memiliki motif
tersendiri seperti halnya Aswad Ansa
adalah orang pertama yang memulai pemberontakan di Yaman dan menulis kepada
para wakil nabi, “kembalikan kepada kami apapun yang berasal dari tanah kami
yang kalian kuasai”. Dari surat itu terbukti bahwa Aswad Ansa hanya ingin
mengambil kekayaan atau wilayah yang pernah dimenangkan umat islam.
Sebenarnya ketiga kasus
besar yang dihadapi abu bakar ini tidak berdiri sendiri , karena antara
ketiganya saling terkait. Berpusat pada adanya nabi palsu yang mengajarkan
bahwa tidak adanya pembayaran zakat, sehingga membuat sebagian muslim mengikuti
alirannya. Semakin banyak orang yang melepas agama islamnya.
Untuk mengatasi masalah
besar yang akan berakibat pada umat islam, akhirnya Abu Bakar memutuskan untuk
mengadakan peperangan, setelah melakukan pengiriman surat kepada kepala
kelompok murtad yaitu Aswad Ansa. Pada akhirnya dua pelopor besar yang mengaku
akan dirinya nabi telat tewas di medan perang. Walaupun sebelumnya Abu Bakar
sudah berusaha mendekati secara persuasif,antara lain dengan pengiriman surat
terlebih dahulu.
Selain kemenangan yang diperoleh
Usamah,ada beberapa perang yang ada dalam masa khalifah Abu Bakar. Diantaranya
seperti perang yamamah (11 H/632 M) perang yang terjadi di kota Yamamah, yang
dikarenakan adanya Musailamah Al Kadzab dan
yang mengaku sebagai nabi. Selain itu ada perang Yarmuk(13 H/634), yang
dipimpin oleh Khalid Bin Walid, peperangan yang merebutkan negara syam.
C. Mengumpulkan mushaf
Al-Quran
Usaha pengumpulan
mushaf ini merupakan salah satu kebijakan Abu Bakar dalam pemerintahannya, Abu
Bakar mempercayakan kepada Zaid Bin Tsabit. Dengan cara penulisan ulang pada
daun kurma, kulit binatang, dan hafalan kaum muslimin.
Pengumpulan mushaf ini
dilakukan Abu Bakar untuk mengatasi semakin banyaknya penghafal Al-Quran yang
mati dalam medan perang. Alasan lain adalah adanya peluang besar bagi orang
kafir untuk memanfaatkan keuntungan individu, seperti halnya Musailamah yang
membuat Al-Quran dengan cara mengumpulkan orang-orang dari kelompoknya dan
memulai membuat ayat Al-Quran palsu yang terdiri dari porsa yang disusun dan
diajarkan kepada pengikutnya. Bahkan, Musailamah sempat mengajarkan pengikutnya
untuk tidak mengerjakan sholat subuh dan sholat magrib.[2][2]
D. Kebijakan non agama.
Kebijakan ini lebih
terfokus pada pemerintahan.
1. Kebijakan-kebijakan
perekonomian.
Dalam kebijakan ini Abu
Bakar membuat semacam lembaga keuangan, walau masih dianggap sederhana namun
pada zaman itu sudah termasuk sebuah kemajuan.Dari lembaga keuangan yang ada
pasti ada sumber pemasukan untuk pengelolaan
lembaga tersebut.Di antara sumber yang ada dari pengumpulan zakat,
sadaqoh, infaq umat, dan seperlima dari harta rampasan perang. Untuk
pengalokasikannya yaitu untuk biaya peperangan, gaji prajurit, dan kebutuhan
sosial lainnya.Selain itu, juga digunakan untuk gaji Khalifah dan gaji petugas
lembaga . Jadi tidak heran jika Abu Bakar memberikan perhatian lebih untuk
pembayaran zakat yang dimana menjadi sumber utama pemasukan kas negara
tersebut.
2. Kebijakan- kebijakan
politik.
Dalam kebijakan ini Abu
Bakar mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi.Untuk kebijakan ini sudah
terlihat pada awal Abu Bakar berpidato dalam pidatonya, pidatonya yang
mengandung prinsip-prinsip nasionalisme partisipatif egaliter, yang
dimana pidato ini dianggap oleh banyak ahli sejarah statemen politik yang
sangat maju. Dalam pidatonya pula sudah menggambarkan kesinambungan dengan
prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan nabi. Selain itu ada peraturan- peraturan tertentu dalam
hal peperangan yang disampaikan kepada tentaranya.
3. Pertahan atau militer
Dengan adanya kebijakan
ini membuat gerakan militer lebih terorganisasi. Meskipun pertempuran itu
identik menggunakan kekuatan, namun dengan adanya eksistensi agama dan
pemerintahan maka suatu pasukan akan lebih kuat dari pada pasukan biasanya.[3][3]
E.
Kondisi Sosial Budaya Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah terpilih
sebagaim Khaifah kedua, Umar Bin Khattab membuat kebijakan-kebijakan sebagai
berikut :
1. Peluasan wilayah
Pada masa khalifah
Umar, sudah banyak negara- negara yang di dibebaskan dari penjajahan Imperium
Romawi dan Persia.[4][4] Banyaknya faktor untuk
menaklukan bangsa Romawi dan bangsa Persia. Diantaranya yaitu pertama, bangsa
Romawi dan Persia tidak mengindahkan niat baik umat Islam. Kedua, ketika Islam
masih dalam keadaan lemah Romawi dan Persia berusaha menghancurkannya. Ketiga,
kedua negara tersebut terkenala akan kemakmurannya, namun keduanya tidak ingin
bekerja sama dengan negeri Arab. Keempat,
kedua suku itu memprovokatori suku Badui untuk memusuhi Islam. Kelima,
letak geografis negara Romawi dan Persia sangat statregis untuk keamanan dan
pertahanan untuk kaum Islam.[5][5]
Masih beberapa bulan
Umar menjadi khalifah, perluasan wilayah
islam menjadi lebih luas. Tahun 635 M, Damaskus , ibu kota Suriah, telah
ditundukkan. Setahun setelahnya kota Suriah secara keseluruhan telah terkusai
islam. Selanjutnya Umar mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah yang
akan pergi ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah, dan Aleppo. Dilanjutkan kembali ke
Jerusalem di Palestina. Dilanjutkan lagi ke arah Mesir, membuah hasil wilayah
Afrika Utara.
Pada tahun 19 H,
setelah bersusah payah dengan berbagai usaha akhirnya Mesir jatuh ke tangan
Islam. Satu per satu kota yang ada di Mesir juga terkuasai seperti Babylonia(20
H), menyusul 7 bulan sesudahnya kota Iskandariyah.
Cyrus menandatangani
perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya iskandariyah, sempurnalah penaklukan. Walaupun sudah begitu
banyak wilayah yang ada bukan berarti akan terdapat pada zona aman, karena
tidak sedikit dari kelompok kecil yang masih mengingingkan kekalahan kerajaan
Islam.[6][6]
Kunci kesuksesan yang
dilakuakan Umar untuk memperluas wilayah Islam diantaranya yaitu, pertama, Islam mengandung ajaran yang tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya namun Islam mengajarkan pula cara berhubungan
dengan sesamanya. Dengan adanya kesamaan dalam derajat, manusia tidak akan pernah merasa unggul
dibanding manusia lain dalam artian mereka akan saling tolong-menolong, saling
mengerti untuk menjalankan khidupan yang lebih baik.
Kedua yaitu mereka
berperang bukan karena mereka menginginlan wilayah atau harta, namun mereka
berperang niatan untuk menyebarkan agama Islam. Selain karena niatan kuat itu,
mereka juga senang menjalankan kegiatan perang, atau bisa dikatakan sebagai
kegemaran orang Arab. Jadi antara niat yang kuat dan dipadukan dengan kegemaran
untuk melakukannya akan menghasilkan hasil yang maksimal.
Ketiga, peratuan tentara Islam tidak mewajibkan
anggotanya untuk beragama Islam, namun mereka tetap menyerukan agama Islam.
Dengan maksud agar muslim yang ada adalah muslim yang benar- benar muslim
haqqnya.
Keempat, banyaknya
wilayah yang menyerahkan diri dikarenakan mereka mengetahui bahwasanya kerajaan
Islam luas dan memiliki kekayaan yang
berlimpah. Sebagian mereka ada yang menyerahkan diri, bahkan ada dari sebagian
wilayah yang menawarkan diri untuk menjadi bagian dari kerajaan Islam, atas
dasar ingin mencari ketenangan dengan agama Islam.[7][7]
2.
Bidang administrasi
Dalam bidang
administrasi pada pemerintahan Umar
semakin terdata . Dengan adanya perturan-peraturan baru dan penambahan
kebijakan.Untuk lebih terkoordinir,
wilayah Islam dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Mekkah, Madinah, Suriah,
Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir dan
Palestina . Bentuk kebijakannya adalah diterbitkannya gaji, diaturnya
administrasi pajak tanah, didirikannya pengadilan-pengadilan, dan memisahkan
bidang eksekutif dan yudikatif.[8][8]
Selain itu, adanya lembaga perpajakan yang secara dasar
berawal dari keinginan awal Umar untuk mengatur keuangan masyarakatnya. Dengan
system keuangan yang lebih terperinci akan mempermudah mengontrol keuangan
masyarakat yang luas. Seperti adanya pendirikan AL-Kharaj yang mengatur dalam perpajakan wilayah islam. Ghanimah
yang mengatur tentang harta rampasan. Adanya perataan zakat bagi masyarakat
yang membutuhkan terutama bagi orang orang yang perekonomian kebawah.[9][9]
3.
Bidang pengetahuan.
Berangsur-berangsur wilayah
islam yang semakin meluas, maka bidang pengetahuan pun akan berkembang pesat.
Dan sekaligus dengan bertambahnya pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
terletak di daerah islam yaitu di Kairo, Basrah dan Kufah. Tidak sedikit orang
yang berdatangan untuk menimba ilmu yang ada pada wilayah tersebut. Selain itu
Umar juga mendirikan masjid, pengadaan air minum dan kantor pemerintahan, untuk
mengontrol perkembanagan yang ada di daerah itu.[10][10]
4. Kondisi Sosial Budaya
Pada Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Setelah terpiih sebagai
khalifah yang ketiga, Khalifah Ustman Bin Affan memiliki kebijakan-kebijakan
sebagai berikut :
1.
Perluasan wilayah
Tercatat selama
kepemimpinan Utsman, terjadi banyak
prestasi. Pemerintahan Utsman berlangsung selama 6 tahun lamanya.
Wilayah-wilayah yang sudah di kuasai seperti Irak, Mesir terus dilindungi, dan
untuk perluasannya semakin lebih strategis untuk penklukan wilayah lainnya.
Pasukan yang ada di Mesir, di instruksikan untuk pergi ke Afrika Utara.
Pertempuran besar yang dilakukan pada masa Utsman adalah pertempuran Zatis
Sawari (peperangan tiang kapal ) yang terjadi di Laut tengah dekat lokasi
Iskandariyah , antara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Containtin dan pasukan
muslim dipimpin oleh Abdullah Bin Abi Sarah. Peperangan ini di sebut dengan
tiang kapal karena dalam pertempuran ini terdapat 800 kapal milik musuh dan 200
milik muslim. Namun pasukan muslim tetap bisa menaklukan lawannya dan terus
bergerak menaklukan wilayah lain seperti kota Kufah,[11][11]
2. Penyusunan Al-Quran
Penyusunan Al-Quran pada masa Utsman berbeda dengan masa
Abu Bakar. Pada masa Utsman ditekankan pada
penyusunan bacaan Al-Quran, karena pada masa Umar terdapat banyak
perbedaan dalam pembacaan Al-Quran. Disusun dan tulis kembali lalu di cetak
untuk umat muslim pada masa itu. Penyusunan Al-Quran bermaksud untuk mengakhiri
perbedaan-perbedaan serius dalam pembacaan Al-Quran.[12][12]
3. Peristiwa fitnah
Pada masa khalifah
Utsman terlalui dengan keamanan, stabilitas, dan kemakmuran, dan itu sangat
berbeda denga masa khalifah sebelumnya. Namun di setiap khalifah pasti memiliki
kekurangan dan kelebihan tersendiri, begitu juga dengan masa pemerintahan
Utsman. Di akhir pemerintahan Utsman terjadi bencana besar atau terkenal dengan
sebutan fitnah kubro. Kejadian tersebut mengakibatkankan terbunuhnya
Utsman secara dholim, terjadinya perpecahan umat dan terjadi kerenggangan
diantara umat islam. Fitnah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Saba’, dia adalah
seorang kafir yang mengaku seorang muslim. Abdullah bin Saba’ mengelilingi dari
satu daerah ke daerah lainnya untuk menaburkan rasa keraguan kepada
pemerintahan saat itu. Selain menebarkan fitnah Abdullah Bin Saba’ pun juga
mengancam khalifah Utsman dan para gubernur.[13][13]
Berbagai usaha telah
dilakukan oleh Utsman Bin Affan untuk menenangkan umatnya, namun mereka semakin menjadi-jadi.
Pemberontakan terjadi di kota Madinah. Penduduk
Madinah mengepung rumah Utsman, hingga mereka melakukan perlakuan yang
tidak lazim kepada khalifah. Mereka merampok baitul mal, dan membunuh Utsman
dengan pedang.[14][14]
4. Kondisi Sosial Budaya
Pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Kebijakan-kebijakan yang telah dikakukan Ali Bin Abi Thalib dalam
kekhaifahannya, yaitu sebagai berikut :
Di awal kepemimpina Ali
memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman Bin Affan, yang
dikarenakan mereka masih termasuk keluarga Umayyah. Kebijakan kedua yaitu
pengambilan kembali semua tanah yang pernah di hibahkan pada masa Utsman dengan
jumlah yang sangat banyak. Kebijakan ini terlihat tidak adil untuk Umayyah,
karena untuk menjamin keamanan pemerintahan pada saat itu.[15][15]karena dari golongan
Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib.[16][16]
Pemerintahan pada masa
khalifah Ali tidak stabil dikarenakan banyaknya pemberontakan yang ada. Lebih
parahnya lagi pemberontakan yang terjadi dari golongan muslim sendiri. Pertama
dari Aisyah dengan Zubair dan Thalhah.[17][17] Yang dikarenakan
Aisyah tidak sejalan dalam pemikiran dengan Ali untuk pemecahan masalah
pembunuh Utsman. Pada saat itu Abdullah Bin Saba’ membubuhi masalah yang ada
dan mengakibatkan adanya perang jamal(36 H/656 M). Dan pada akhirnya pasukan
dari Basrah sudah kembali, bahkan Ali memperlalukan Aisyah dengan baik dan
mengantarkannya ke Makkah. Peperangan ini adalah peperangan pertama yang
terjadi diantara dua golongan muslimin.[18][18]
Khalifah Ali selalu
menghindari adanya pertumpahan darah daerah. Pepengan kedua antara umat muslim
yaitu pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah. Peperangan yang terjadi karena
khalifah Ali menginginkan penyelesaian bahwa Muawiyah tidak menerima Ali
sebagai khalifah saat itu. Akhirnya terjadilah peperangan antara Ali dengan
Muawiyah yang dinamakan perang siffin(37H/657M). dalam peperangan tersebut
hampir saja pasukan Ali memenangkannya, namun panglima dari pasukan Muawiyah
yaitu Amr bin Ash mengangkat mushaf dengan tombaknya yang berarti adanya
permintaan damai. Sebenarnya khalifah Ali mengetahui bahwa itu hanya muslihat.
Karena mendapat desakan dari pasukan akhirnya khalifah Ali menghentikan
peperangan.[19][19]
Akhirnya terjadinya
peristiwa Tahkim, yang dimana dari perwakilan dari khalifah Ali yaitu Abu Musa
Al-‘asary. Sebaliknya dari pasukan Muawiyah diwakili oleh Amr Bin Ash. Dalam
peristiwa ini pihak Ali dirugikan oleh Muawiyah karena Amr Bin Ash dapat
mengalahkan Abu Musa Al-’asary. Dengan terpaksa peristiwa tahkim dimenangkan
oleh Muawiyah.[20][20]
Dengan adanya peristiwa
tahkim bukanlah akhir dari perdamaian umat islam. Namun masih ada kelompok Ali
Bin Abi Thalib yang masih kurang setuju dangan mengalahnya Ali Bin Abi Thalib
kepada Muawiyah. Yakni mereka kelompok Khawarij(golongan yang keluar dari ali).
Golongan khawarij sangat merepotkan Ali, yang dimana mereka memberikan
kesempatan untuk mendapatkan Mesir. Sedangkan kota Mesir adalah kota yang
menjadi pusat kemakmuran umat Islam selama ini. Dengan begitu semakin melemah
pasukan Ali Bin Abi Thalib karena mendengar bahwa Mesir jatuh ke Muawiyah.
Belum cukup dengan
membuat pasukan Ali lemah, golongan dari Khawarij mengirimkan orang untuk
menghabisi Ali Bin Abi Thalib . Ibnu Muljam berhasil membunuh Ali Bin Abi
Thalib pada tanggal 20 Ramadhan 40
H(660M). Tidak lama pula akhirnya Ibnu Muljam tertangkap dan di bunuh pula pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib. [21][21]
C. SISTEM PERGANTIAN KEPALA NEGARA
1. Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat bingung mempermasalahkan siapa
yang kelak akan menggantikan beliau sebaagai kepala negara, dikarenakan sejak
awal Rasulullah tidak pernah membicarakan hal itu kepada sahabat-sahabatnya.
Akan tetapi Rasulullah telah mengajari para sahabat satu prinsip yaitu
musyawarah.Prinsip ini dapat dibuktikan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada setiap pergantian pemimpin periode Khuafa’ al-Rasyidin, meskipun sedikit
berbeda versi.[22][22]
Harus diakui bahwa dalam menentukan pemimpin sebaiknya memikirkan komunitas
umat muslim supaya tidak merugikan mereka. Realitasnya adalah waktu itu
terdapat dua kelompok besar yang saling bersaing lewat pemilihan tersebut,
yakni kelompok Anshor dan Muhajirin.Karena wajar jika kemudian terjadi
ketegangan dalam proses pemilihan Khalifah yang berlangsung di Saqifah Bani
Saidah. Keterangan lain menyebutkan bahwa keompok Bani Hasyim memiliki
kepentingan dalam pemilihan tersebut. Ada juga yang mengatakan suku-suku Nomad
mau tunduk pada wilayah Madinah apabila pemimpin mereka bukan dari suku
Quraisy.[23][23]
Golongan Anshor menuntut bahwa
mereka adalah orang-orang yang memberi tempat kepada Nabi pada saat awal-awal
menyebarkan islam.Oleh karena itu, seorang penerus Nabi harus dipilih diantara
mereka.. Selain itu, kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah orang yang
berhak untuk menggantikan Rasulullah. Bani Hasyim mengemukakan alasan bahwa
Allah dan Nabi Muhammad tidak menyerahkan masyarakat mukminin kepada kesempatan
dan keinginan yang sifatnya sesaat dari badan pemilih, keluarga Hasyim telah
membuat ketetapan bagi kepemimpinan islam yaitu dengan menunjuk orang tertentu
untuk menggantikan Rasululah. Sayidina Ali, saudara sepupu nabi dari pihak
ayah, adalah orang yang direncanakan sebagai pengganti yang sah .Namun alasan
Bani Hasyim itu sangat lemah.[24][24]
Golongan Anshor dan suku Khazraj mengajukan Sa’ad bin Ubadah, tokoh ini
tercatat sebagai orang yang tidak pernah menyatakan bai’ahnya kepada Abu Bakar
dan Umar sampai akhir hayatnya sebagai calon khaifah. Abu Bakar ( golongan
Muhajirin ) awalnya mengajukan Umar Bin Khattab dan Sa’ad bin Ubadah sebagai
calon khalifah.[25][25]
Telah jelas bahwa golongan Muhajirin maupun Anshar berada di tepi jurang
perselisihan di antara mereka . Abu Bakar berdiri dan merinci jasa-jasa kaum
Anshar bagi tujuan islam. Akan tetapi pada waktu itu, dia menekankan kenyataan
bahwa Allah yang maha kuasa telah menganugrahkan keistimewaan kepada kaum
Muhajirin pada zaman permulaan islam karena mereka mengakui Muhammad sebagai
Nabi, menerima agamanya, tetap bersama beliau baik susah maupun senang meskipun
seluruh kaumnya menuduh mereka berbohong dan yang menjadi musuh bebuyutan
mereka adalah orang kafir. Merekalah orang-orang yang memperoleh keteladanan di
dalam beribadah kepada Allah di muka bumi dan di dalam beriman kepada-Nya dan
Rasulnya.Sebab itu , mereka mempunyai hak yang paling kuat atas kekhalifahan.
Namun kaum Anshar terus menekan tuntutan mereka. Pertengkaran terus berlanjut .
Kemudian kaum Anshar menyarankan bahwa harus ada dua kelompok, tetapi hal ini
berarti menyebabkan pecahnya kesatuan islam.[26][26]
Abu Bakar menanggapinya secara
bijaksana untuk menghentikan keadaan tersebut , kemudian dia maju ke depan kaum
muslimin dan berkata “ saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih di
antara kedua orang ini, “ sambil menunjuk Umar dan Abu Ubaidah dan menyebutkan
beberapa kebajikan mereka. Akan tetapi keduanya berkata “ Tidak, kami tidak
bisa lebih mengutamakan kami sendiri daripada Anda di dalam hal ini. Tidak
diragukan anda adalah orang yang paling
baik diantara kaum Muhajirin.“ Umar, seorang sangat dinamis dan mempunyai
kepribadian kuat , berbicara untuk mendukung Abu Bakar kepada kaum Anshar.
Ketika kedua kelompok mayoritas ini menyetujui, kedua kelompok yang lainnya,
harus menerima keputusan itu.Umar adalah orang yang pertama melakukan sumpah
setia kepada Abu Bakar. Kemudian diikuti oleh Usman, Abu Ubaidah, dan
Abdurrahman bin Auf dan khalayak ramai ikut maju kedepan dengan tujuan
menyatakan kesetiaan kepada Abu Bakar .Dengan adanya itu, maka Abu Bakar
terpiih sebagai Khalifah.[27][27]
Setelah terpilihnya Abu Bakar, hari berikutnya umat Islam berkumpul di
dalam Masjid Nabi untuk menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar yang
sebenarnya. Ketika sumpah setia telah selesai diucapkan, Khalifah yang terpilih
memberikan pidatonya kepada hadirin,“ Wahai manusia! Saya telah di angkat untuk
mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu.
Maka jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi jika aku
berbuat salah, maka betulkanlah! Orang
yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, saya mengambil hak daripadanya,
sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat
mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah pandang kuat, hingga saya dapat
mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan
Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku".[28][28]
2. Umar Bin Khattab
Abu Bakar wafat pada tanggal 634 M /13 H. Sebelum Abu Bakar wafat,
beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai
penggantinya. Hal ini merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya,
tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk
dilakukan.Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar menunjuk Umar menjadi
khalifah. Pertama, kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah
Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat islam ke jurang perpecahan akan terulang
lagi, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya. Kedua, kaum
Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi
khalifah. Ketiga, umat islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum
murtad dan pembangkang. Sementara itu,
sebagian pasukan mujahidin bertempur di luar kota Madinah melawan tentara
Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak yang lainnya.[29][29]
Umar menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulillah, artinya
pengganti dari pengganti rasulullah. Umar juga memperkenalkan istilah Amir
al-Mukminin kepada umat islam. Bila dilihat dalam catatan sejarah, secara kekeluargaan
Umar bin Khattab mempunyai kekerabatan dengan Rasulullah , yaitu pada kakek
buyut ketujuh.Ia termasuk suku Quraisy berasal dari Banu Adi. Lahir di Mekkah
sebelum perang Fajar tiga belas tahun setelah kelahiran Nabi, atau pada tahun
empat puluh sebelum nabi hijrah.[30][30]
Namun demikian, mengenai
pengangkatan Umar sebagai Khalifah tidak ada hubungannya dengan kekerabatan
tersebut, tetapi memang Umar dinilai sebagai orang yang memilki sifat-sifat
kepemimpinan besar dan selama Pemerintahan Abu Bakar, kepribadiannya berkembang
pesat. Perlu diketahui bahwa setelah Rasulullah wafat, Umar Bin Khattab adalah
kandidat yang di usulkan oleh kaum Muhajirin. Karena ia sangat berpengaruh
ketika mengarahkan orang-orang Madinah untuk menerima Abu Bakar sebagai khalifah,
dan hal itu dapat disimpulkan bahwa ia mereka percayai.. Terpilihnya Umar Bin
Khattab sebagai khalifah, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Ia mendapat
mandat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu
forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh khalifah
sebelumnya. Pada dasarnya semua mendukung maksud Abu Bakar untuk menunjuk Umar
sebagai penggantinya, meskipun ada beberapa diantaranya yang tidak setuju. Ia
melakukan tata cara dengan mengadakan musyawarah tertutup dengan beberapa
sahabat senior, diantara mereka adalah Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan
dari kelompok muhajirin serta As’ad bin
Khudair dari kelompok Anshar.[31][31]
Abu Bakar berwasiat yang didasarkan pada musyawarah yang berlangsung
sebelumnya ini sangat penting untuk menghindari pertengkaran sebagaimana yang
terjadi di balai pertemuan Bani Saidah sewaktu pengangkatannya menjadi khalifah
dulu, ia khawatir bila tidak segera menunjuk pengganti akan timbul perselisihan
di kalangan sahabat yang dapat lebih memperburuk situasi daripada apa yang
terjadi ketika nabi wafat dulu. Dan pertimbangan Abu Bakar ini menjadikan
masyarakat islam di zaman Umar bin Khattab menjadi kondusif, yang sekaligus
menjadi pondasi penting bagi pengembangan pemerintahannya. Secara
ketatanegaraan, kebijakan yang dilakukan Abu Bakar dengan menunjuk Umar bin
Khattab sebagai penggantinya dianggap kewenangan alternative yang mungkin dapat
dilakukan sebagai kepala negara.
Dilihat dari istilah yang dipakai, kata khalifah yang berarti pengganti,
belum menunjukkan wujud permanen sistem kepemimpinan yang ada atau menurut
pandangan lain yang menilai bahwa pada masa itu belum terdapat pola baku
mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Artinya masih ada peluang
bagi Abu Bakar untuk melakukan kebijakan yang berbeda sebelumnya, dan kebijakan
ini masih dalam pertimbangan yang arif, karena didasari beberapa alasan yang
bisa diterima berdasarkan situasi dan kondisi pada saat itu. Dan pada
kenyataannya kebijakan Abu Bakar disetujui oleh umat islam pada saat itu.
Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua
pada hari selasa tanggal 22 Jumadil Akhir 13 H / 634 M dalam suatu bai’at umum
secara sepakat dan terbuka di masjid Nabawi. [32][32]
Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khattab setelah di bai’at atau dilantik
menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabawi di
hadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
“ Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras
dengan juwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga
lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat daam
jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada orang
yang lebih kuat daripadaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku
untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. ” “ Sesungguhnya
Allah menguji kamu dengan aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku
memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada suatu urusan dari
urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh
seseorang, selain aku dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku,
sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah. Jika
mereka berbuat baik tentu akan berbuat baik kepada mereka jika mereka berbuat
jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka.”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adaah
tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin
harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang.Setiap urusan harus diurus
dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik.Khalifah harus memilih orang-orang
yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya, serta hukum harus
ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.[33][33]
3.Usman bin Affan
Menjelang ajalnya, Umar mengangkat dewan yang terdiri dari Usman, Ali bin
Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Abdurrahman
bin Auf dan Said bin Abi Waqqas untuk memilih khalifah dari mereka sendiri
jikalau Umar telah wafat. Pada saat itu Thalhah sedang berada di Madinah, sebab
itu kelima calon tersebut harus memutuskan pengganti khalifah.[34][34]
Dewan-dewan tersebut diketuai oleh Abdurrahman bin Auf. Mereka semua
bermusyawarah hingga terpilihlah Usman sebagai khalifah. Yang menjadi
pertimbangan Umar memilih mereka yaitu karena mereka berenam itu dulu
dinyatakan sebagai calon-calon penghuni surga, sehingga Umar tidak mendahulukan
faktor Muhajirin dan Anshar, karena itu akan menyebabkan perselisihan.[35][35]
Mekanisme pemilihan khalifah ini, ditentukan dengan cara berikut: pertama,
yang berhak menjadi khalifah adalah orang yang paling banyak mendapatkan suara.
Kedua, jika suara yang diterima khalifah ada yang sama, maka yang menentukan
antara keduanya adalah Abdullah bin Umar. Ketiga, jika apa yang dipilih oleh
Abdullah bin Umar tidak dapat diterima, maka yang dicalonkan oleh Abdurrahman
bin Auf yang menjadi khalifah. Apabila ada yang menentang pilihan Abdurrahman
bin Auf maka akan dibunuh.[36][36]
Ada diriwayatkan, bahwa Umar pernah berkata “ andaikata saya menunjuk
siapa yang akan menjadi khalifah sesudah saya, maka telah pernah orang yang
lebih baik dari pada saya ( maksudnya Abu Bakara ) menunjuk orang yang akan
menjadi khalifah sesudahnya. Dan kalau saya tidak menunjuk, maka telah pernah
pula orang yang lebih baik daripada saya ( maksudnya Rasulullah SAW ) berbuat
demikian”.[37][37]Abdur Rahman Bin Auf
mengusulkan agar dirinya diperkenankan mengundurkan diri, akan tetapi dia tetap
bermusyawarah bersama kaum musimin , dan dia memilih Umar sebagai seorang yang
menjadi khalifah. Usulan Abdur Rahman Bin Auf diterima oleh para sahabat, dan
diadakanlah perjanjian.
Para sahabat berjanji memenuhi usulan Abdur Rahman Bin Auf , dan Abdur
Rahman berjanji akan berlaku benar dan adil. Kemudian Abdur Rahman
bermusyawarah dengan calon-calon khalifah yang ditunjuk oleh Umar. Pada saat
akan adanya pemilihan, Dari permusyawarahan itu, semua usulan tertuju pada
Usman dan Ali. Dalam menjalankan tugasnya untuk memilih pemimpin umat islam
ternyata terjadi kompetisi yang ketat, yang kemudian berkembang dan
menghasilkan polarisasi di kalangan umat islam. Mereka terpecah menjadi dua
kubu , yaitu pendukung Ali yang dikenal dengan kelompok Bani Hasyim dan
pendukung Usman yang dikenal kelompok Bani Umayyah. Dalam suasana demikian
Abdur Rahman bin Auf memanggil Ali dan Usman secara bergantian dan menyatakan
ha yang sama yaitu “ Seandainya dipilih menjadi Khalifah sanggupkah
menegakkan kitab Allah dan Sunnah Rasul dan mengikuti kebijaksanaan dua
khalifah sebelumnya ? “ mendengar jawaban keduanya, maka diputuskan
bahwa Usman yang terpilih, karena Usman
lebih tua daripada Ali dan perilaku beliau lunak daripada Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya pembai’atan Usman dilakukan pada hari Senin 30 Dzulhijjah 24 H.
Setelah terpilih menjadi khalifah, Usman memeriksa perkara pembunuhan
Ubaidullah yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah dan seorang anak Abu
Lu’luah yang masih kecil. Meskipun tugas pemilihan khalifah sudah diaksanakan,
tampaknya ada kekecewaan pada diri Ali atas cara yang dipergunakan oleh Abdur
Rahman bin Auf , bahkan menuduh bahwa Usman telah bersekongkol bersama Abdur
Rahman bin Auf. Sebab jika Usman terpilih , maka kelompok Abdur Rahman yang
berkuasa sebab Abdur Rahman bin Auf adalah ipar Usman dan keluarga Umayyah.[38][38] Umat islam
memberikan sumpah setia kepada Umar.
Dengan adanya sumpah tersebut, maka Usman adalah pengganti Umar. Orang keenam
yang di pilih sebagai calon Khalifah yaitu thahah setibanya di Madinah langsung
menyatakan sumpah setianya kepada Usman. [39][39]
4.Ali bin Abi Thalib
Situasi kota Madinah dicekam oleh kerisauan dan kecemasan setelah Khalifah
Usman terbunuh oleh kelompok pemberontak yang terjadi kira-kira selama lima
hari , hal ini bukan karena umat pada saat itu sudah kehilangan pemimpinnya
tapi yang lebih mencemaskan lagi adalah dikuasainya Madinah oleh kelompok
pemberontak. Selanjutnya kaum pemberontak memaksa penduduk Madinah untuk mencari
pengganti khalifah. Maka penduduk Madinah dan Al-Ghafiq ibn Harb mencari orang
yang bersedia diangkat menjadi khalifah.Sehingga proses pengangkatan Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah, berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Kalau
Abu Bakar diangkat melalui musyawarah terbuka di Tsaqifah bani Saidah, Umar bin
Khattab melalui penunjukan pendahulunya , Utsman bin Affan melalui Majelis
al-Syuro yang dibentuk Umar, sedangkan Ali dipilih menjadi khalifah dalam suasana yang kacau dan tidak banyak melibatkan
sahabat senior. Saat itu ada lima orang yang di calonkan. Namun dua diantaranya
telah menyatakan ketidaktersediaannya, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqas dan Ibnu
Umar, sehingga calon yang diharapkan tinggal Ali, Thalhah dan Zuheir. Ali
tampaknya adalah calon yang paling kuat, disamping ia adalah orang yang pertama
kali masuk islam. Maka ketika kaum pemberontak mengumpulkan penduduk Madinah
dan mendesak mereka untuk memilih khalifah, Ali lah yang serentak mereka
pilih.Ali beranggapan bahwa pengangkatan khalifah merupakan urusan Majlis
al-Syura .karena itu, semula ia menolak atas pemilihan tersebut. Ali
menghendaki pengangkatan khalifah melalui musyawarah Ahl al-Syura.Ini
menunjukkan bahwa Ali memang didesak oleh kaum pemberontak dan penduduk Madinah
untuk menerima jabatan khalifah.[40][40]
Dengan situasi yang terdesak, akhirnya Ali terpilih menjadi khalifah.
Keputusan tersebut diperkuat dengan dibai’atnya Ali oleh Al-Asytar al-Nakha’I (
orang pertama ) yang kemudian diikuti khalayak, termasuk Thalhah dan Zubeir walaupun
daam keadaan terpaksa. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Juni 656 M, setiap
orang memberikan sumpah setia kepadanya, dan dia dinyatakan sebagai khalifah
islam. Pengangkatan Ali sebagai khalifah umat islam ini sedikit banyak masih
menyisakan masalah. Pertama, pemilihan Ali sebagai khalifah telah diikuti oleh
kaum pembangkang yang datang dari berbagai penjuru untuk mengobarkan
pemberontakan pada Utsman.Kedua, sikap netral yang ditunjukkan oleh beberapa
sahabat besar dalam persoalan baiat pada Ali. Dan ketiga, penuntutan bela atas
pembunuhan Utsman yang dilakukan oleh Thalhah, Zubeir dan Aisyah di satu pihak
dan Muawiyah di lain pihak.[41][41]
Ali bin Abi Thalib dibai’at oleh semua orang, baik Muhajirin maupun Anshar
beserta sahabat , yaitu Thalhah dan Zubair, akan tetapi ada beberapa sahabat
yang tidak mau untuk membai’at Ali, yaitu Abdulah bin Umar bin Khattab,
Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin
Salam. Ibnu Umar dan Sa’ad bersedia berbai’at setelah semua umat berbai’at.
Sedangkan Thalhah dan Zubair terpaksa berbai’at jika ia diangkat menjadi
gubernur Kuffah dan Basrah. Akan tetapi di riwayat lain menyatakan bahwa mereka
mau berbai’at karena sudah tidak ada lagi yang dipilih, kecuali Ali bin Abi
Thalib. Setelah Ali bin Abi Thalib dibai’at , ia berpidato mengenai penerimaan
jabatannya: “ Sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab suci Al-Qur’an
sebagai petunjuk yang menerangkan yang baik dan yang buruk. Kewajiban-kewajiban
yang kamu tunaikan kepada Allah akan membawa kamu ke surga. Sesungguhnya Allah
telah mengharamkan apa yang haram, dan memuliakan kehormatan seorang muslim,
berarti memuliakan kehormatan seluruhnya, dan memuliakan keikhlasan dan tauhid
orang-orang muslim. Hendaklah setia muslim menyelamatkan manusia dengan
kebenaran lisan dan tangannya. Tidak boleh menyakiti seorang muslim, kecuali
ada yang membolehkannya. Segeralah kamu melakukan urusan kepentingan umum.
Sesungguhnya ( urusan ) manusia menanti di depan kamu dan orang yang di
belakang kamu sekarang bisa membatasi , meringankan ( urusan ) kamu .
bertakwalah kepada Allah sebagai hamba Allah kepada hamba-hamba-Nya dan
negeri-Nya. Sesungguhnya kamu bertanggung jawab( dalam segala urusan ) termasuk
urusan tanah dan binatang ( lingkungan ). Dan taatlah kepada Allah dan jangan
kamu mendurhakainya.Apabila kamu melihat yang baik, ambillah dan jika kamu
melihat yang buruk, tinggalkanah.Dan ingatlah ketika kamu berjumlah sedikit agi
tertindas di muka bumi.Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana
yang kamu telah lakukan terhadap khalifah-khalifah yang dulu daripada saya.
Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan tetapi jika pilihan telah
jatuh, penolakan tidak bisa lagi untuk saya lakukan. Iman harus kuat, teguh,
dan rakyat harus tunduk dan patuh. Bai’at terhadap saya ini adaah bai’at yang
merata dan umum. Barang siapa yang mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama
islam”. [42][42]
Sebagai seorang khalifah, Ali meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Dia
akan mengikuti prinsip-prinsip baitul mal. Dia memutuskan untuk mengembalikan
ke pembendaharaan negara yang diambil alih oleh Bani Umayyah dan lain-lain pada
masa Usman bin Affan sebagai khalifah. Khalifah Ali juga akan mengganti semua
gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat. Dia mengangkat Usman bin Hanif
sebagai gubernur Basrah menggantikan Ibnu Amir. Qais dikirim ke Mesir untuk
menjadi gubernur disana menggantikan Abdullah. Gubernur-gubernur Kuffah dan
Siria dimintanya meletakkan jabatan, tetapi Muawiyah , gubernur Siria, menolak
menaati Ali sebagai khalifah . oleh karena itu , khalifah Ali harus menghadapi
kesulitan-kesulitan dengan Muawiyah.
C.
PERBEDAAN PEMAHAMAN
KEAGAMAAN PADA MASA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Dimulai dari terbunuhnya Usman, dan Ali terpilih naik sebagai khalifah.Terjadi
lagi finah yang cukup menonjol.Pertama terjadinya perselisihan Ali bin Abi
Talib di satu pihak, dengan Talhah bin Ubaidillah dan zubair bin awwam yang
juga melibatkan Aisyah Ummulmukminin di pihak lain, yang dikenal dengan insiden
unta tahun 36 H. (656 M). Beberapa bulan setelah itu Mu’awiyah melancarkan
perang terhadap Ali, dalam Perang Siffin di Raqqah, Timur laut Suria, Pada
zulhizah 36 (juni 657).
Banyak sumber yang meneyebutkan
bahwa pasukan Mu’awiyah sudah hampir kalah, seperti sudah kita lihat diatas,
lalu Amr bin Ash mengusulkan kepada Mu’awiyah mengangkat Qur’an di ujung tombak dan mengajak tahkim dengan Qur’an atas
pertikaian diantara kaum muslimin.Dalam situasi begini inilah muncul politikus
ulung yang sukar di cari tandingannya waktu itu. Amr bin Ash, diplomat yang
cukup terkenal di semenanjung Arab. Ia pandai mencari jalan keluar dalam
situasi sulit. Ia menyarankan kepada Muawiyah agar anggota-anggota pasukannya
yang di garis paling depan mengikatkan mushaf qur’an ke ujung tombak ke ujung tombak sebagai tanda bahwa
perang harus dihentikan dan diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan
hukum Qur’an, yang terkenal dengan sebutan nama tahkim. Melihat kitab suci diikatkan di ujung tombak itu Ali sangsi
: dengan itikad baik demi perdamaian seperti yang dilakukan insiden unta dulu
ataukah itu sebuah siasat untuk menjebak lawan ? Imam Ali menyadari bahwa itu
adalah suatu tipu muslihat.Tetapi sebagian pemuka pasukannya yang dikenal orang
baik-baik tidak sependapat. Mereka siap berhenti bertempur. Mereka sudah jemu
berperang yang sudah berlangsung selama tiga bulan itu, dan memaksanya menerima
gencatan senjata dengan jalan tahkim.Perbedaan
pendapat ini telah menimbulkan ketidakserasian di antara pengikut imam Ali yang
ingin terus bertempur dengan yang setuju gencatan senjata.[43][43]
Maka al-hasil pertempuran itu berhenti, Ali bin Abi thalib langsung
mengirim utusan kepada Mu’awiyah untuk meminta penjelasan atas rencana
perdamaian ini. Mu’awiyah mengatakan kapada utusan Ali untuk masing-masih pihak
harus menyediakan dua orang wasit yang netral. Ketika berita ini sampai kepada
Ali, Ali mengutus kepada Abdullah bin Qais atau yang dikenal dengan Abu Musa
al-Asy’ary sebagai wakil pengikut Ali, sementara dari pihak Mu’awiyah mengutus
Amr bin Ash sbegai wakil pengikut Mu’awiyah.
Perundingan pertama anatara Abu Musa dengan Amr bin As terjadi pada 13
safar 37 Feberuari 658 dalam bentuk Tahkim Al-Qur’an di Azruh. Menurut beberapa
sejarawan bahwa hasil dari perundingan pertama ini tidak dicatat tetapi
berlangsung secara lisan, hal ini menandakan bahwa kedua belah pihak belum
mencapai kesepakatan menegenai pergantian Khalifah Usman bin Affan, oleh
karenanya kedua belah pihak ini mengambil jalan tengah, untuk menyerahkan
pemilihan khalifah kepada kaum muslimin dengan membentuk dewan syura’ untuk
menentukan pengganti Khalifah Usman bin Affan.
Ketika itu Abu Musa berkata kepada Amr supaya menyampaikan hasil keputusan
itu. Seolah-olah dia menonjolkan sikap rendah hatinya kepada kaum muslimin
dengan menuakan Abu Musa sebagai penyampai hasil keputusan perundingan itu, Abu
Musa pun maju dan berkata kepada kaum Muslimin “ setelah kami mengadakan
pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik dari masalah yang
kemelut ini selain mengambil langkah ini demi kebaikan kita semua, yaitu kami
sudah sama-sama sepakat untuk memecat Ali dan Muawiyah, dan selanjutnya kiita
kembalikan kepada majelis syura’ diantara kaum muslimin itu sendiri “ [44][44]
Setelah Abu Musa menyampaikan hasil keputusan itu, Amr bin Ash berdiri dan
berkata “ Aku tidak menganggap Ali tepat untuk jabatan kekhalifahan, tetapi
menurut pendapatku Muawiyahlah yang pantas kalian pilih untuk jabatan
kekahlifahan” setelah kaum muslimin mendengar statement Amr bin Ash. Terjadilah
kegemparan besar yang membuat kaum muslimin bingung tujuh keliling.
Dengan demikian arbitrasi atau Tahkim terbukti menjadi sia-sia dan
harapan-harapan perdamian telah sirna.Akhirnya dua kelompok kaum muslimin
meninggalkan tempat dengan rasa kecewa yang sangat. Alipun menyadari bahwa
Peneriamaan artbitrasi atau tahkim ini benar-benar terbukti mendatangkan
malapetaka, Ali bagaikan kehilangan kotak sebelum kotak itu dibuka.
Ketika Ali r.a. mendengar hasil arbitarsi ini ia mengatakan, “Keputusan itu
tidak didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw. yang mana kedua itu
adalah syarat untuk arbitriasi. Oleh karena itu, tidak dapat diterima, ketika
Ali berada di Masjid Jami’ Kufah dan mengajak kaum muslim untuk mempersiapkan
peperangan terhadap Syiria. Dari peristiwa inilah muncul pemberontakan secara
terbuka yang dilakukan oleh sekelompok baru, yang diberi nama “Khawarij”
kelompok baru ini sudah terbukti dalam sejarah islam bahwa kelompok ini adalah
sangat berbahaya dari kelompok lain ataupun kelompok yang telah ada sebelumnya.
Sebagaimana hal itu telah
dibicarakan dalam hubungannya dengan pembunuhan Ustman r.a. kaum muslimin telah
tebagi kedalam empat kelompok utama, yakni Utsmani, Syi’ah Ali. Marhabah dan
Ahli Sunnah wal jamaah. Orang-orang Marhabah telah terserap ke dalam
kelompok-kelompok lain.Tiga kelompok yang tersisa tetap ada. Sekarang kelompok
keempat dari orang-orang khawarij telah terbentuk..[45][45]
Berikut ini akar-akar Khawarijisme dibentuk dari empat hal :
a) Mereka memandang “Ali,
Utsman, Muawiyah, dan para prajurit yang terlibat dalam perang jamal serta
mereka yang membenarkan arbitrasi, sebagai kafir, kecuali mereka yang menyokong
arbitrasi tetapi bertobat setelah itu.
b) Mereka mengkafirkan
siapa saja yang tidak percaya akan kekafiran Ali, Utsman, Muawiyah, serta
mereka yang disebutdi butir (a) di atas.
c) Bagi mereka, iman tidak
hanya berarti percaya terhadap sesuatu tanpa menimbang, tetapi juga
menerjemahkan perintah ke dalam perbuatan dan menghindari apa yang dilarang
termasuk bagian dari iman. Iman adalah suatu persenyawaan dari keyakinan dan
perbuatan.
d)
Ada keharusan tanpa syarat untuk berontak terhadap pemimpin atau pemerintah
yang tidak adil. Mereka percaya bahwa amar
ma’ruf nahi mungkar tidak bersyarat apapun, dan dalam segala keadaan perintah
ilahi ini harus dilaksanakan.
Sesuai dengan pandangan-pandangan itu, orang-orang ini memulai eksistensi
mereka dengan pengakuan bahwa seluruh manusia di muka bumi adalah kafir, yang
darah mereka halal dan semuanya ahli neraka. Selain itu keyakinan khawarij
terhadap kekhalifahan di interpretasikan dengan senang oleh para pemikir modern
khawarij mengatakan bahwa khalifah harus dipilih melalui pemilihan bebas dan
bahwa orang yang pantas menduduki jabatan ini adalah orang yang memiliki
kelayakan dalam iman dan kesalehan, baik ia dari suku Quraisy atau bukan, dari
suku terpandang dan masyhur atau dari suku sepele dan terbelakang, Arab atau
Ajam. Kemudian jika setelah terpilih menjadi khalifah namun menjalankan roda
pemerintahannya bertentangan dengan kepentingan umat islam, maka wajib hukumnya
ia harus digulingkan dari kekahalifahan, dan jika ia menolak, maka wajib
hukumnya diperangi sampai tewas. Hal ini Khawarijisme percaya bahwa
kekhalifahan adalah daulah ilahi dan karena itu khalifah tidak boleh selain orang
yang diangkat oleh Tuhan.[46][46]
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah
Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti
lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am
(umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi
Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak (مشترك) dalam nash
al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya,
para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak
membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.
Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن
يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن
تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ
ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampurdengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan
kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.(
QS.al-Baqarah:237)
Kata الذي
بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali
nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari
keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya;
artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami,
karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar
separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar
mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami)
menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.
Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm
syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi
tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan imam syafi’i dalam
qaul jadidnya.
Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an,
maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam
materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini sebagai sekedar contoh
perbedaan pendapat dari kata musytarak.
Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat al-Qur’an.
Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan hakiki. Sebab
itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah AWT:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ
يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ
يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى
ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar(
QS. al-Maidah:33
Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ
ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari permukiman bumi. Sdangkan
ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan
secara hakiki, akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara
hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan
hukuman mati suda h ada ketentuannya secara jelas.
E.PENUTUP
Sebagai khalifah, hendaknya menjalan semua kepercayaan yang
penduduk amanahkan kepada sang pengganti rosulullah. Bukan kepada manusia saja
mereka bertanggungjawab namun kepada mahkluk sekitarnya pula seperti hewan dan
tanaman yang ada pada masa itu. Selain bertanggungjawab mereka juga memiliki
tugas penting yaitu, mengyebarkan agama islam, membasmi kekafiran, menyamakan
derajat manusia lebih fokusnya pada perempuan, dan diberi kemanan bagi
masyarakatnya. Namun dibalik tugas yang beratitu khalifah tetaplah manusia yang
memiliki hawa nafsu dan hati nurani.Yang dimana ketika keduannya berjalan
bersamaan dalam satu kehidupan.
Oleh karena itu allah
memberikan satu kelebihan untuk khalifah tersendiri yaitu akal sehatyang dimana
yang akan dijalankan dalam pemerintahahnya. Dan yang paling penting diketahui
adala semua manusia adalah termasuk khalifah.Khilafiyah dalam hukum islam
adalah merupakan khazanah. Bagi orang yang kurang memahami watak kitab-kitab
fiqh yang banyak memuat masalh-masalah hukum yang diperselisihkan hukumnya,
sering beranggapan bahwa fiqh itu sebagai pendapat pribadi yang ditrasfer ke
dalam agama. Padahal jika mereka mau mengkaji secara mendalam, pasti mereka
menemukan bahwa ketentuan hukum islam itu bersumber dari kitabullah dan Sunnah
Rasu SAW.
Syaekh al-Bayanuny
menyebutkan dalam suatu kitabnya, دراسات في الاختلافات الفقهية bahwa keragaman pendapat dalam berbagai furu, sebenarnya merupakan buah
yang bermacam-macam dari sebatang pohon, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul,
bukan buah yang bermacam-macam dari berbagai macam pohon seperti dugaan sementara
orang. Batang pohonnya adalah al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah
dalil Syara dan metode analisis yang beragam, sedang buahnya adalah hukum fiqh
dengan segala coraknya
Fiqh, sebagai hasil
ijtihad ulama dan tidak lepas dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Sunnah) otomatis
akan mengandung keragaman hasil ijtihad itu. Namun demikian, nampak pada jati
diri para ulama mazhab adanya sika sportif dan toleran apabila dihadapkan pada
penomena tersebut, serta tetap konsesten kepada prinsip firman Allah SWT.
Yaitu:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ
فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Jika kamu berlainan
pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya.(Q.S. al-Nisa 59).
[1][1] Ibid, hlm
23
[2][2] Ibid, hlm
41
[3][3] Dedi
supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung:CV PUSTAKA SETIA,2016),hlm 71
[4][4] Ibid,hlm
20
[5][5] Ibid, hlm
81
[6][6] Rizem
Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,(Yogyakarta:DIVA Press,
2015),hlm208-211.
[7][7]
Ibid,hlm38-40
[8][8] Ibid,hlm
41
[9][9] Ibid, hlm
213
[10][10] Ibid,
hlm 214
[11][11] Ibid,
hlm 105
[12][12] Ibid,
hlm 105
[13][13] Ibud,
hlm 169
[14][14] Ibid,
hlm 170
[15][15] Ibid,
173
[16][16] Ibid.
hlm 19
[17][17] Ibid,
hlm 174
[18][18] Ibid,
174-175
[19][19] Ibid,
hlm 174-175
[20][20] Ibid,
hlm 98
[21][21] Ibid,
hlm 242-243
[22][22]Ali
sodiqin, Sejarah Peradaban Islam( Yogyakarta : Lesfi , 2002 ) , hlm. 45
[23][23]Imam
Fu’adi,Sejarah Peradaban Isam (Yogyakarta:Teras,2011), hlm.21-22
[24][24] Syed
Mahmudunnasir,Islam Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi (
Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,2005), hlm.135-136
[25][25]Ibid,
hlm 22
[26][26]Ibid.,hlm.136.
[27][27]Ibid,.hlm.
137.
[28][28]A.Syalabi,
Sejarah Kebudayaan Islam , Jilid 1, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: PT.
Pustaka Al Husna Baru), hlm 196.
[29][29]Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2016),
hlm. 78-79
[30][30]Ibid,
hlm.30-31
[31][31]Ibid,
hlm. 32-33
[32][32]Ibid, hlm.
33-34
[33][33]Ibid .hlm.
79-80
[34][34]Ibid,
hlm. 158
[35][35]Ibid,
hlm.47
[36][36]Ibid,
hlm.87
[37][37]Ibid,
hlm. 230.
[38][38]Ibid, hlm.47-
48
[39][39]Ibid,
hlm. 158
[40][40]Ibid,
hlm 58
[41][41]Ibid
, hlm. 165
[42][42]Ibid,
hlm 94-95
[43][43]
Ali bin Abi thalib sampai kepada hasan dan husain hal :323-324
[44][44]
Ali bin Abi thalib sampai kepada hasan dan husain cetakan ke 3hal :262-263
[45][45] Sisi
hidup para khalifah saleh hal : 228-229
[46][46] Ali bin
Abi Thalib kekuatan dan kesempurnaannya hal : 113-116
0 comments:
Post a Comment